DPP PDI-Perjuangan menolak adanya aturan yang melarang jurnalisme investigasi dalam draf revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).
Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat menilai, niatan untuk melarang jurnalisme investigasi muncul dari ketakutan berlebihan sejumlah pihak terhadap pemberitaan pers.
Padahal tugas pers dalam memberitakan sebuah peristiwa atau mendalami sebuah kasus menjadi pilar demokrasi.
Menurut Djarot, sejatinya tugas pers dalam menyampaikan informasti tidaklah perlu ada pelarangan. Termasuk tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif.
Adapun pelarangan itu tertuang dalam Pasal 50B ayat (2) draf revisi UU Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024.
"Tentang revisi UU penyiaran, PDI-P mendorong supaya revisi UU Penyiaran ini benar-benar tidak menghapuskan penyelidikan secara investigatif. Pers itu pilar keempat demokrasi. Jangan sampai karena ketakutan yang berlebihan, pers dengan penyiaran dianggap negatif kemudian dilarang," ujar Djarot di DPP PDI-P, Kamis (16/5/2024).
Diketahui dalam Pasal 50B ayat (3) dijelaskan mengenai aturan sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2).
Sanksi yang diberikan mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Kemudian di ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.
Terpisah Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menegaskan dalam revisi UU Penyiaran, Komisi I DPR tidak berniat untuk mengerdilkan insan pers.
"Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers. Hubungan selama ini dengan mitra Komisi I DPR, yaitu Dewan Pers sejak Prof Bagir, Prof Nuh dan Alm Prof Azyumardi adalah hubungan yang sinergis dan saling melengkapi, termasuk dalam lahirnya publisher rights," ujar Meutya dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024), dikutip dari Kompas.com.