Tentang pernyataan Otto Hasibuan terkait “ijazah palsu,” dia menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak benar, dan akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah menyatakan bahwa gugatan yang diajukan oleh beberapa orang yang diwakili oleh Eggi Sudjana tidak dapat diterima.
Pernyataan hukum Otto Hasibuan ini secara hukum kabur dan membingungkan bagi publik, sehingga perlu ditanggapi dan diluruskan untuk menghindari kesalahpahaman publik tentang makna hukum.
Harus dipahami bahwa penolakan putusan tersebut tidak sama dengan kekalahan dalam kasus tersebut. Penolakan tersebut hanya terkait dengan masalah prosedur hukum, dan belum menyentuh substansi atau inti perkara yang sedang berlangsung.
Dalam konteks hukum, terdapat dua langkah upaya perlawanan hukum sebagai akibat dari putusan sela yang dimaksud:
Mengajukan gugatan kembali, sesuai dengan petunjuk hukum yang terdapat dalam putusan sela. Jika putusan sela tersebut dinyatakan terkait dengan kompetensi absolut dan disepakati oleh pihak penggugat, maka penggugat dapat mengajukan gugatan kembali ke badan peradilan lain, sesuai dengan petunjuk atau rujukan yang terdapat dalam putusan tersebut.
Demikian juga, jika putusan sela menyentuh kompetensi relatif, penggugat dapat kembali mengajukan gugatan ke badan peradilan yang sama, namun bergeser ke pengadilan wilayah Kota/Kabupaten pada sebuah provinsi.
Jika putusan penolakan gugatan terdapat dalam putusan sela yang mengenai pihak-pihak, maka penggugat tetap dapat mengajukan kembali gugatan ke badan peradilan yang sama dengan merubah para pihak tergugat maupun penggugat, merubah jumlah para pihak penggugat dan tergugat, serta terkait durasi atau waktu kapan diajukan hak kewenangan menggugat dalam hal keperdataan, yang tidak memiliki batas waktu.
Penggugat juga dapat menolak putusan sela dengan mengajukan banding dalam waktu 14 hari kerja. Putusan pada tingkat banding dapat menguatkan putusan sela tersebut atau mengabulkan banding yang diajukan oleh penggugat.
Jika banding dikabulkan, maka perkara akan dikembalikan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan PNJP akan diperintahkan untuk melanjutkan proses persidangan ke tahapan agenda materi pokok perkara, termasuk jawaban, replik, duplik, pembuktian, dan pemeriksaan saksi-saksi.
Sebagai kuasa hukum Penggugat, kami ingin menjelaskan bahwa kami sedang menunggu putusan sela yang belum kami terima dari Majelis Hakim dalam perkara yang sedang berlangsung dengan nomor register 610/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst.
Oleh karena itu, kami belum dapat membaca dan menyepakati langkah selanjutnya, apakah akan melakukan upaya banding atau mendaftarkan kembali perkara tersebut, sesuai dengan isi atau petunjuk yang terdapat dalam putusan.
Saat ini, masa untuk mengajukan banding masih tersisa 12 hari kerja atau hingga tanggal 14 Mei 2024, jika dihitung sejak tanggal 25 April 2024, yaitu tanggal dikeluarkannya putusan sela, atau 14 hari sejak kami mengetahui atau menerima surat putusan.
Perlu kami tegaskan bahwa putusan sela memiliki makna hukum sebagai petunjuk bagi kami sebagai pihak penggugat, bukan sebagai kepastian atau keikatan terhadap materi pokok perkara.
Putusan sela belum menjadi putusan yang mengikat terhadap kebenaran substansial dalam pokok perkara mengenai ijasah palsu Jokowi. Dengan kata lain, proses pencarian kebenaran formil dalam inti gugatan ini belum berakhir.
Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan agar Otto tetap tenang, karena Jokowi bukanlah presiden yang hanya dimiliki oleh individu Otto, melainkan presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai sesama WNI, Otto harus memperlakukan gugatan ini dengan bijaksana.
Kami berharap agar pendekatan Otto dalam menyikapi masalah ini lebih bijak dan arif, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil langkah-langkah hukum.
Tentunya, belum ada bukti konkret mengenai kebenaran materiil, yaitu kebenaran sejati mengenai apakah Jokowi menggunakan ijasah asli S.1 dari UGM atau tidak, karena perkara ini belum termasuk dalam domain perkara pidana.
Oleh karena itu, hikmah yang dapat diambil dari putusan SELA ini adalah bahwa kepastian hukum mengenai ijasah asli yang menjadi dasar pokok perkara belum tercapai.
Bahkan jika kami, sebagai pihak Penggugat atau individu lain yang terlibat, memilih untuk tidak mengajukan banding.
Dalam konteks ini, baik Otto maupun masyarakat yang memiliki pendapat pro atau kontra mengenai kebenaran formil dan materiil terkait ijasah S.1 Jokowi, perlu diingat bahwa penegakan hukum di Indonesia secara umum belum mencapai titik akhir.
Hal ini karena dalam praktiknya, realitas politik tidak dapat dipisahkan dari perilaku penegak hukum dalam melaksanakan aturan.
Dalam konteks tersebut, penting untuk kami tegaskan bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (obscuri libeli), melainkan wajib untuk memeriksanya dan mengadilinya.
Oleh karena itu, berdasarkan norma-norma yang ada, kami, selaku Koordinator TPUA (Tim Pengacara Ummat Ahlussunnah)/Koordinator Kuasa Hukum, melihat bahwa hal ini sering kali menjadi alasan untuk melakukan banding terhadap eksepsi yang hasil putusan selanya dikabulkan oleh mahkamah yang lebih tinggi, seperti Pengadilan Tinggi (PT) dan/atau Mahkamah Agung (MA).
Hal ini disebabkan oleh prinsip bahwa Pengadilan Tingkat Pertama/Pengadilan Negeri (PN) tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam kasus putusan sela terkait kompetensi absolut, banding tidak diperkenankan.
Ini sesuai dengan Pasal 136 HIR, di mana putusan penolakan eksepsi terhadap kompetensi adalah putusan sela yang tidak dapat dibandingkan secara terpisah, tetapi harus diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Dengan demikian, apakah putusan sela atau putusan akibat eksepsi dapat diajukan banding, baik bersama-sama dengan pokok perkara maupun secara terpisah, merupakan hal yang kontroversial dan terserah pada keputusan hakim. Meskipun demikian, keputusan akhir tetap berada di tangan hakim.
Terlepas dari hal tersebut, terkait apakah bunyi putusan sela terhadap perkara gugatan yang diajukan oleh kami, Tim Pengacara Ummat Ahlussunnah (TPUA), yang teregistrasi dengan Nomor 610/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst ini adalah terkait kompetensi absolut atau tidak, kami belum mengetahui isi putusannya.
Hal ini karena saat putusan sela dibacakan secara online, kami, sebagai pihak Penggugat atau prinsipal, tidak hadir.
Kami sebelumnya telah menyampaikan surat protes kepada Ketua Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial perihal keberatan atas pembacaan putusan secara online oleh majelis hakim PN.JP. Kami berharap agar persidangan dilakukan secara offline sesuai dengan ketentuan Jo.185 HIR/ 196 RBG.
Oleh karena itu, kami tidak menghadiri sidang online tersebut, sehingga kami belum mendapatkan kejelasan mengenai isi Putusan Sela hingga saat ini.
Kami hanya mendapat informasi dari Otto Hasibuan melalui media online dan video YouTube. Namun, bagi kami, sumber yang datang dari Otto Hasibuan tidak layak untuk dipercayai.
Dengan demikian, sebagai kesimpulan, kami ingin menyampaikan bahwa kami belum sempat melakukan diskusi dan koordinasi di antara anggota TPUA maupun dengan para penggugat prinsipal.
Sehingga, tim hukum TPUA belum dapat memastikan apakah akan mengajukan banding terhadap Putusan Sela dalam perkara Nomor 610/Pdt.G/2023/PN.Jkt.Pst atau malah mendaftarkan kembali gugatan terkait Ijazah Palsu dalam kategori perbuatan melawan hukum oleh penguasa (OOD).
Selain itu, kami juga belum memutuskan apakah akan tetap menggunakan susunan prinsipal penggugat yang sama atau mengubahnya, begitu pula dengan susunan pengacara.
Selanjutnya, kami juga meragukan apakah Otto selaku kuasa hukum Jokowi pernah melihat ijasah asli Jokowi.
Terkait dengan materi pokok gugatan terkait ijasah Jokowi, semuanya masih merupakan misteri yang seharusnya memiliki kejelasan, jika saja Jokowi mau patuh terhadap hukum, khususnya terkait dengan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kami berharap bahwa hak tanggapan dari kuasa hukum para penggugat terhadap Jokowi terkait ijasah palsu dapat memberikan pencerahan bagi publik secara umum dan bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat.