Pakar Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) berpeluang memutuskan pemungutan suara ulang dalam sidang sengketa hasil Pilpres.
Namun, Titi memperkirakan MK tidak akan mendiskualifikasi paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Kalau dari proses persidangan, peluang untuk putusan itu mengarah pada pemungutan suara ulang terkait dengan pergerakan distribusi bansos (bantuan sosial) yang menyasar titik-titik suara paslon lawan gitu," kata Titi saat dihubungi Tempo pada Senin, 8 April 2024.
Dia meyakini bahwa MK tidak hanya berfokus pada 'angka-angka' perolehan suara pada perselisihan hasil pemilihan umum untuk pemilihan presiden atau PHPU Pilpres kali ini.
Menurut Titi, ini sudah terkonfirmasi dengan pemanggilang empat menteri Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada sidang Jumat lalu, 5 April 2024.
Pada sidang terakhir itu, MK menghadirkan Menteri Koordinator atau Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Selain itu, MK juga menghadirkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu alias DKPP dalam sidang terakhir itu.
"Tinggal apakah MK melihat relevansi antara bansos dengan politisasi perangkat desa dan biokrasi, untuk kemudian memerintahkan pemungutan suara ulang di titik-titik yang terdampak," ujar Titi.
Dosen Hukum Tata Negara UI ini juga menyinggung soal salah satu petitum atau permohonan dari Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran.
"Kalau sampai diskualifikasi sih, saya meragukan MK akan sampai pada konklusi itu," ujar Titi.
Dia lalu menjelaskan mengapa kecil kemungkinan MK akan mendiskualifikasi paslon nomor urut 02 itu.
Pertama, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama mempermasalahkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres dan cawapres. Padahal, MK menjadi bagian dari putusan tersebut.
"Jadi, tidak mungkin MK menggunakan PHPU dengan menempatkan Putusan 90 sebagai suatu pelanggaran," tutur Titi.
Kedua, kata dia, keabsahan pencalonan Gibran akibat pelanggaran etik oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menurut Titi, bobot kesalahan ada pada KPU. Jika belajar dari perselisihan hasil Pilkada, MK tidak pernah mendiskualifikasi calon akibat pelanggaran yang dilakukan KPU.
"Saya meyakini akan ada kejutan dari Putusan MK. Sesuatu yang akan berkontribusi bagi perbaikan pemilu Indonesia, terdekat setidaknya menjadi pembelajaran untuk Pilkada 2024," ucap Titi.