Di tengah bulan Ramadhan, empati publik sedang tertuju pada warga-warga di kawasan IKN yang mengalami musibah.
Lantas Rocky Gerung mengamati penduduk yang tinggal di wilayah IKN, dikatakan mereka benar-benar terkena dampak yang menyakitkan.
Seperti yang dikabarkan penduduk adat disana diusir secara tiba-tiba oleh otoritas IKN, dengan suruhan untuk merobohkan bangunan mereka sendiri.
Meskipun suratnya ditarik kembali oleh Otorita IKN, ancaman terus berlanjut, hingga menimbulkan kebingungan di kalangan penduduk, terutama dengan klaim tanah yang kemudian diberikan kepada Bank Tanah.
Menurut pengamat politik, Rocky menilai kejadian ini mirip dengan praktik VOC di masa lalu yang memaksa tanah rakyat untuk kepentingan mereka, hingga ia menilai Jokowi telah menganiaya rakyatnya sendiri.
Bank Tanah, yang seharusnya hanya berfungsi sebagai entitas pencatatan, seolah memiliki kekuatan pidana untuk menjerat penduduk yang telah lama tinggal di kawasan tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana konsep dasar hukum adat yang dimanipulasi oleh kepentingan investor baru yang diterima oleh pemerintah.
Gerung menyoroti bahwa Bank Tanah seolah menjadi alat untuk melindungi investasi para oligarki, tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang telah lama menempati kawasan tersebut.
Bahkan, suara protes dari masyarakat adat dan pemimpin suku Dayak menolak keberadaan Ibu Kota Nusantara.
Namun, tidak ada tanggapan bijak dari pemerintah untuk merespons kemarahan rakyat terhadap dukungan negara terhadap perusahaan swasta.
Kritik terhadap pemerintah semakin tajam karena ketua konsorsium investasi swasta di Ibu Kota Nusantara memiliki kekuasaan atas tanah di berbagai daerah.
Dengan demikian, perlawanan rakyat terhadap kebijakan yang merugikan terus berlanjut, kendati mereka dianiaya oleh lembaga baru seperti Bank Tanah.
Konflik di kawasan IKN bukan hanya masalah lokal, namun juga mencerminkan ketidakadilan yang terjadi dalam kebijakan pembangunan nasional. ***