Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan akan menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) Rp1 triliun.
Niatan Syahganda tersebut sebagai respons dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Pasal 14 dan 15 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Syahganda mengapresiasi putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dkk pada Kamis, 21 Maret 2024. Selanjutnya Syahganda berencana untuk melakukan langkah perdata menggugat Presiden Jokowi.
Gugatan tersebut mengenai dirinya, Jumhur Hidayat, dan Anton Permana yang beberapa tahun lalu ditahan terkait kritik Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atas UU Omnibus Law Cipta Kerja. Dia mengaku sudah berkordinasi dengan Jumhur Hidayat.
“Yang juga masih menunggu hasil keputusan Mahkamah Agung atas tuduhan yang ditersangkakan sebagai pembuat onar yang menimbulkan kegaduhan di masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat (22/3/2024).
Syahganda dan Jumhur pernah mendekam di Rutan Bareskrim Mabes Polri selama masing-masing 10 bulan dan 7 bulan antara 2020 dan 2021 dengan menggunakan UU Tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut.
“Putusan MK tersebut menunjukkan bahwa benar Jokowi selama ini telah memberangus pihak oposisi secara asal-asalan,” ujarnya.
Dia melanjutkan, berbagai ahli hukum tata negara sebelumnya juga sudah menyatakan bahwa UU tersebut tidak pantas digunakan membungkam masyarakat kritis, karena merupakan warisan kolonial Belanda.
“Dengan alasan itu dan hilangnya kemerdekaan hidup korban penjara, saya pantas menggugat perdata Jokowi atau pemerintahannya,” pungkasnya.
Ini Pertimbangan MK Hapus Pasal Sebar Hoax Bikin Onar
Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang mengatur hukuman penjara bagi orang yang menyebar berita bohong untuk membuat onar. Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyebut pasal tersebut adalah pasal karet.
MK mengatakan saat ini perkembangan teknologi sangat pesat sehingga memudahkan masyarakat dalam mengakses informasi secara cepat meski belum diketahui apakah itu adalah berita bohong atau berita benar dan atau berita yang berkelebihan.
"Mahkamah berpendapat unsur 'berita atau pemberitahuan bohong' dan 'kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan' yang termuat dalam pasal 14 dan pasal 15 UU 1/1946 dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi 'pasal karet' yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum," ucap hakim MK Arsul Sani di dalam persidangan perkara nomor 78/PUU-XXI/2023 yang digelar di gedung MK, Kamis (21/3/2024).
MK juga mengatakan tidak ada ukuran jelas soal onar atau keonaran dalam pasal itu.
Menurut MK, penggunaan kata keonaran dalam pasal tersebut bisa menimbulkan multitafsir karena keonaran memiliki beragam arti di KBBI, yakni mulai kegemparan, kerusuhan, dan keributan, yang menurut MK memiliki gradasi berbeda-beda.
"Ketidakjelasan makna 'keonaran' dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945," ucap hakim MK Enny Nurbaningsih.
MK mengatakan pasal tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan yang ada saat ini.
MK mengatakan dinamika yang terjadi dalam mengeluarkan pendapat berupa kritik terhadap kebijakan pemerintah di ruang publik merupakan bagian dari dinamika demokrasi dan pengejawantahan dari partisipasi publik yang bukan serta merta dapat dianggap sebagai unsur penyebab keonaran sehingga ditindak aparat hukum.
"Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya, kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana," ujar Enny.
MK juga mengatakan unsur 'kabar tidak lengkap atau berkelebihan' dalam pasal yang diuji sama saja dengan pemaknaan unsur 'pemberitahuan bohong'.
MK mengatakan hal itu membuat tumpang tindih dalam pengaturan norma pasal 15 UU 1/1946. Apalagi tidak ada gradasi atau tingkat keakuratan dalam penerapan norma tersebut.
"Norma Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 serta Pasal 310 ayat (1) KUHP tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi setiap warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," ujar Enny.
Atas berbagai pertimbangan itu, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dan kawan-kawan.
Berikut amar putusan MK yang menyatakan pasal 14 dan 15 UU 1/1946 bertentangan dengan UUD 1945:
- Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (berita negara Republik Indonesia II nomor 9) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai informasi, berikut Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945:
Pasal 14 UU 1/1946
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun
Pasal 15 UU 1/1946
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.