Dalam sistem demokrasi, keberadaan oposisi dinilai sebagai elemen penting untuk menjaga keseimbangan dan akuntabilitas pemerintahan.
Di Indonesia, peran oposisi mengalami pergeseran dari masa ke masa, seiring dengan dinamika politik dan konstelasi pemerintahan. Berikut partai oposisi di indonesia sejak Orde Lama hingga Reformasi.
1. Masyumi, PSI, dan Murba (Orde Lama)
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia menjadi oposisi di pemerintahan Orde Lama dalam sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin.
Dilansir dari repository.unri.ac.id, Masyumi, PSI, P. Katolik, dan M. Hatta menolak tegas usulan Demokrasi Terpimpin. Namun, peran oposisi meredup karena dimandulkan.
Pasalnya partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Murba bikinan Tan Malaka dibubarkan oleh Sukarno. Alhasil, Sukarno pada saat itu dikesankan sebagai rezim otoriter.
Selain itu, presiden soekarno juga berusaha mengurangi jumlah partai politik dengan hanya mengakui 10 Partai dari 26 partai peserta Pemilu 1955, yakni: PNI, NU, PKI, Parkindo, P. Katolik, PSII, Perti, Murba, IPKI dan Parkindo yang berhak atas 47,4% anggota DPR GR, sedangkan 52,6% anggota DPR-GR diambil dari golongan fungsional.
2. PDI dan PPP (Orde Baru)
Di masa Orde Baru, hanya Partai Demokrasi Indonesia dan PPP yang menjadi oposisi Golkar. Dikutip dari golkarpedia.com, PDI selalu menghadapi tantangan besar dalam melawan Golkar yang memiliki dukungan yang lebih kuat dari pemerintah dan militer.
Meskipun demikian, perjuangan PDI dalam setiap pemilu mencerminkan semangat ketidakpuasan dan aspirasi oposisi terhadap dominasi Golkar.
Di sisi lain, PPP, yang merupakan aliansi partai-partai Islam di Indonesia, juga menghadapi kesulitan dalam meraih kemenangan.
Meskipun memiliki basis dukungan yang kuat dari komunitas Islam, PPP terus berjuang untuk mengatasi pengaruh besar yang dimiliki oleh Golkar, terutama dalam konteks politik yang diatur secara ketat oleh rezim Orde Baru.
Keterbatasan ruang politik dan persaingan yang tidak seimbang membuat PPP sulit untuk meraih keberhasilan yang substansial dalam setiap pemilu.
3. PDIP (Reformasi, 2004-2014)
Setelah kalah dalam Pileg dan Pilpres pada 2004, Megawati mendeklarasikan partainya sebagai pihak oposisi. Dia melarang kadernya duduk dalam kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK).
Sebagai landasan, partai yang identik berwarna merah ini kemudian membuat dan mengadopsi Format Oposisi PDIP yang berisi dasar dan orientasi kebijakan PDIP menjadi partai oposisi.
Format Oposisi PDIP tersebut menjelaskan bahwa oposisi dilakukan terhadap kinerja pemerintah berupa kritik terhadap hal-hal yang merugikan kepentingan rakyat.
Format Oposisi PDIP memberikan penekanan pada kepentingan “wong cilik” sekaligus menjelaskan sikap politik PDIP yang tak lagi berorientasi liberal, sebagaimana pernah dilakukan saat memegang kekuasaan.
4. PKS (2009-sekarang)
Partai Keadilan Sejahtera atau PKS konsisten menjadi oposisi sepanjang 15 tahun ke belakang. Menurut Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini, posisi politik tersebut akan membuat partainya lebih terhormat pada saat memberikan masukan permasalahan kebangsaan kepada pemerintah.
5. Gerindra (2009-2019)
Gerindra menjadi salah satu partai oposisi yang paling lantang dan pedas kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi. Dari mulai kritik soal kebijakan pangan, tarif listrik, hutang negara dan masih banyak lagi.
Namun setelah pilpres 2019, saat Prabowo masuk kabinet, Gerindra cenderung tak lagi jadi oposisi. Saat itu Gerindra mendapat jatah 2 menteri di kabinet Jokowi.