Mantan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho, memberikan peringatan keras terhadap praktik Politik Dinasti yang melibatkan anggota keluarga Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, hal ini merupakan ancaman serius bagi demokrasi Indonesia.
Dalam pernyataannya, Yanuar Nugroho mengungkapkan bahwa beberapa anggota keluarga Presiden Jokowi seperti Gibran yang didorong untuk menjadi Wakil Presiden dan Kaesang yang diusulkan menjadi Wali Kota Solo.
Sementara Erina Gudono yang disebut-sebut sebagai calon Bupati Sleman, Bobby Nasution yang maju dalam Pemilihan Gubernur Sumatera Utara.
Tidak berhenti di situ, Devid, ajudan Jokowi juga dikabarkan bakal mencalonkan diri sebagai Bupati Boyolali, dan Sendi, aspri Bu Iriana yang berencana maju sebagai Walikota Bogor.
"Apakah politik dinasti ini masalah? tentu!," ujar Yanuar dalam keterangannya di aplikasi X @yanuarnugroho (20/3/2024).
Yanuar menyatakan bahwa Politik Dinasti bukan hanya merupakan sebuah masalah, tetapi juga membawa risiko besar bagi negara.
Risiko tersebut antara lain adalah risiko moral hazard yang tinggi, penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan yang tak terhindarkan, penurunan kapasitas pemerintahan, dan berbagai dampak negatif lainnya.
"Proses demokrasi tidak sehat, sistem merit tidak terjadi, risiko moral hazard besar, risiko penyalahgunaan kekuasaan besar, konflik kepentingan tak terhindarkan, kapasitas pemerintahan anjlok, dan seterusnya," tukasnya.
Dikatakan Yanuar, pemilihan Jokowi pada tahun 2014 awalnya diharapkan dapat membawa perubahan positif dan dianggap sebagai harapan baru bagi Indonesia.
"Pak jokowi kita pilih di 2014 karena dia membawa harapan bahwa berbagai perilaku buruk dalam bernegara bisa diubah dan dihentikan," Yanuar menuturkan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, banyak langkah yang diambil oleh Jokowi dinilai mengecewakan karena dianggap melanggar prinsip demokratisasi dan perbaikan proses bernegara.
The Economist bahkan menyebut langkah Jokowi dalam menjalankan politik dinasti sebagai "inglorious" atau memalukan.
"Tapi di pemilu 2024, dan sesudahnya, banyak langkah jokowi dianggap mengecewakan krn mengkhianati upaya demokratisasi dan perbaikan proses bernegara," cetusnya.
Yanuar menyatakan keprihatinannya dan mengakui bahwa sebagai bagian dari masyarakat sipil, satu-satunya hal yang terpikir untuk dilakukan adalah konsolidasi seluruh pro-demokrasi.
"Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk mengingatkan pak Jokowi dan para orang dekatnya tentang situasi ini, khususnya politik dinasti, dan semua risiko untuk negeri ini ke depan," ungkapnya.
"Sebagai bagian dari masyarakat sipil, hanya satu yang terpikir, konsolidasi seluruh komponen pro-demokrasi," ucapnya.
Dia menekankan perlunya konsolidasi ini dalam mengawal proses pemilu 2024 hingga akhir, termasuk mendukung gugatan pasangan calon ke Mahkamah Konstitusi (MK), mendesak hak angket DPR, dan menuntut audit forensik digital KPU.
"Mengawal seluruh proses pemilu 2024 sampai akhir dan mendukung gugatan paslon ke MK, mendukung-mendesak hak angket DPR, menuntut audit forensik digital KPU," sebutnya.
Untuk jangka menengah, Yanuar berpendapat bahwa membangun platform koordinasi-konsolidasi masyarakat sipil sebagai pengawas kritis terhadap pemerintah, baik untuk agenda politis maupun teknokratis, sangat diperlukan.
"Membangun platform koordinasi-konsolidasi masyarakat sipil untuk menjadi pengawas (watchdog) kritis pemerintah, baik untuk agenda politis ataupun teknokratis kebijakan pembangunan," bebernya.
Dia menilai, masalah terbesar pemerintah saat ini adalah tatakelola yang buruk, rendahnya tingkat akuntabilitas, dan kapasitas pemerintahan yang kurang.
"Masalah terbesar pemerintah, tatakelola, akuntabilitas, kapasitas pemerintah yang rendah," katanya.
Sementara untuk jangka panjang, Yanuar berpendapat bahwa pendidikan politik publik dan penguatan institusi publik diperlukan untuk menciptakan transformasi sosial yang lebih mendasar dan memunculkan kepemimpinan sipil yang lebih baik.
"Pendidikan politik publik dan penguatan institusi publik agar terjadi transformasi sosial yang lebih mendasar, dan memunculkan kepemimpinan sipil," imbuhnya.
Yanuar bilang, hanya dengan langkah-langkah tersebutlah, Indonesia dapat merawat gagasan besar yang ada, bukan dengan politik dinasti.
"Hanya dengan itu, kita bisa merawat gagasan besar bernama indonesia ini. bukan dengan politik dinasti," ungkapnya.
Yanuar menuturkan bahwa dalam negara demokratis, LSM dan partai politik seharusnya mendapatkan pembiayaan negara dan diizinkan melakukan public fundraising, namun hal ini harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
Politik uang, menurutnya, tidak boleh menjadi praktik yang diterima seenaknya.
"Di negara demokratik, CSOs dan parpol mendapatkan pembiayaan negara dan boleh public fundraising. jadi terbuka dan akuntabel. tak bisa main politik uang seenaknya. kita bisa mulai mendorong itu," kuncinya.