Pengamat politik Yunarto Wijaya menegaskan, demokrasi kultus harus distop karena berpotensi memunculkan tiga matahari, pada pemerintahan mendatang.
Tiga matahari itu adalah paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka bila memenangkan Pilpres 2024.
Dalam hal ini, pemerintahan akan dipimpin Prabowo, Gibran mewakili Joko Widodo (Jokowi), dan Jokowi yang rencananya menjadi Ketua Barisan Nasional, yang memimpin koalisi parpol pengusung Prabowo-Gibran.
Demokrasi kultus akan membuat parpol menempatkan Jokowi tetap berada di posisi dan karier politik pasca lengser dari kursi presiden, pada 20 Oktober 2024.
“Ketika berbicara harus menempatkan Jokowi dalam bentuk apa pun, ketua koalisi dan lain-lain, yang terjadi adalah upaya untuk merendahkan presiden terpilih,” ujar Yunarto di Jakarta, Senin (18/3/2024).
Dalam konteks hitung cepat (quick count) Pilpres 2024 yang dimenangkan Prabowo-Gibran, seakan-akan ada ketidakpercayaan terhadap Prabowo untuk melanjutkan legasi Jokowi.
Seakan-akan ada ketidakpercayaan terhadap Gibran jika tidak ada ayahnya (Jokowi) akan sanggup mendampingi Prabowo melaksanakan kelanjutan pembangunan.
“Dalam konteks ini kasihan Prabowo yang sudah dipilih rakyat langsung, Jangan jadikan Prabowo petugas Jokowi, jangan jadikan Gibran sebagai petugas Jokowi. Berikan marwah sebagai seorang presiden terpilih dalam sistem presidensial sebagaimana dia bekerja,” tegasnya.
Demokrasi Sesungguhnya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia itu menjelaskan, tentang perbedaan demokrasi kultus dan demokrasi sesungguhnya.
Dalam demokrasi sesungguhnya, kata dia, bagaimana menempatkan Jokowi dalam konteks mantan presiden supaya Indonesia lebih baik dengan pemerintahan yang baru.
“Dalam konteks demokrasi yang sesungguhnya saya akan mengulang pernyataan Jokowi sendiri dalam sebuah wawancara resmi bahwa dia akan kembali seperti rakyat biasa ke Solo,” tukasnya.
Lebih lanjut, untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan atau untuk mencapai Indonesia Emas, maka hal terpenting adalah program dan nilai yang akan dilanjutkan, bukan berkutat menghabiskan energi bagaimana menempatkan orangnya Jokowi.
“Kalau orangnya tidak bisa, anaknya harus ada, kemudian mantunya harus ada. Energi kita habis untuk pro dan kontra semacam itu,” ujar Yunarto.
Barisan Nasional
Pada kesempatan itu, Yunarto membahas Barisan Nasional yang dimunculkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Barisan Nasional ada pada sistem parlementer yang mengenal koalisi termasuk koalisi besar.
Jadi, tidak ada pondasi aturan atau perundang-undangan yang bisa menempatkan Jokowi sebagai ketua koalisi besar.
Selain itu, dia menilai Jokowi seakan-akan dijorokkan untuk menempatkan Prabowo menjadi bukan hanya dalam konteks divided government dalam istilah sistem presidensial tapi dalam konteks lebih kecil sebagai divided executives seakan-akan ada tiga matahari.
Ada Prabowo, Gibran mewakili Jokowi, dan Jokowi ditempatkan di atas partai koalisi yang seakan-akan bisa mengatur presiden dan wakil presiden.
Yunarto melihat ada orang-orang yang berupaya menjorokkan Jokowi dalam halusinasi kekuasaan, yang kemudian akan menanggungnya adalah Jokowi dan keluarganya sendiri, sementara orang yang menjorokkan supaya tetap ikut dalam kekuasaan.
“Stop demokrasi kultus, para penjilat berhentilah menjilat tokoh tertentu, keluarga tertentu, dinasti tertentu karena negara belum mapan cirinya ditopang oleh orang kuat. Sementara, negara yang sudah mapan demokrasinya ditopang oleh sistem yang kuat. Kembalilah kepada demokrasi nilai, sehingga kita berdebat tentang apa yang kita percaya bukan sjapa yang kita puja, sehingga siapapun pemenangnya berasal dari pemilu berkualitas,” pungkasnya.