Civitas academica Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menggelar aksi penyataan sikap "Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik".
Aksi itu digelar di halaman depan Gedung Pasca Sarjana Kampus Unair B, Jalan Airlangga 4-6, Kecamatan Gubeng, Surabaya, pada Senin (5/2).
Pernyataan sikap tersebut dibacakan oleh Guru Besar Sosiologi Fisip Unair, Prof. Dr. Hotman Siahaan, beserta dosen, alumni, dan sejumlah mahasiswa Unair.
Hotman mengatakan bahwa penyataan sikap ini merupakan seruan moral, bukan tindakan politik praktis.
"Seruan moral ini adalah sebagai bingkai dari seluruh moralitas bangsa untuk menjalankan demokrasi," ujar Hotman, Senin (5/2).
2 Aktivis Unair Masih Hilang
Hotman menyampaikan bahwa pihaknya mengingatkan ada dua aktivis mahasiswa Fisip Unair, yaitu Petrus Bimo Anugrah dan Herman Hendrawan, yang hilang saat kerusuhan Mei 1998. Hingga kini, kedua aktivis tersebut masih belum ditemukan.
"Dan untuk Airlangga saya ingin menegaskan bahwa kami telah memiliki dua orang martir. Yang sampai sekarang belum ketemu mayatnya. Yaitu saudara Herman dan saudara Bimo Petrus. Semua alumni Fisip Unair mengetahui hal itu. Tapi kami melihat isu tentang itu tidak berkembang yang cukup baik sekarang ini," ucapnya.
"Karena itu kami mengingatkan, kepada seluruh masyarakat Indonesia bahwa kami di sini pernah mengalami kekerasan. Oleh penguasa pada saat itu," lanjutnya.
Hotman menyebut bahwa seruan aksi ini tidak atas nama institusi, melainkan dari pribadi-pribadi intelektual yang terpanggil dalam melihat situasi negara saat ini.
"Karena kalau atas nama institusi harus ada prosedur, harus ada lembaga harus ada tanda yang merepresentasikan atas nama institusi. Kami tidak menggunakan itu," katanya.
"Ini adalah individu-individu, keluarga besar Universitas Airlangga, baik yang masih ada maupun yang alumni. Maupun mereka teman-teman yang merasa terpanggil untuk kegiatan ini," ujarnya.
Berikut beberapa poin pernyataan sikap dalam seruan aksi ini:
- Mengecam segala bentuk praktik pelemahan demokrasi. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan harus merawat prinsip-prinsip etika republik dengan tidak menyalahgunakan kekuasaan, menggunakan fasilitas dan alat negara untuk kepentingan kelompok tertentu, maupun berpihak dalam politik elektoral dan menghentikan segala praktik pelanggengan politik kekeluargaan.
- Mendesak Presiden dan Aparat Negara untuk menghormati dan kemerdekaan atas atas hak-hak sipil dan politik, juga ekonomi, sosial dan budaya bagi tiap warga negara. Kebebasan berbicara, berekspresi, dan pengelolaan sumberdaya alam, karena Negara Indonesia milik segenap rakyat Indonesia, bukan segelintir elite penguasa.
- Mendesak penyelenggaraan Pemilu Luber-Jurdil tanpa intervensi penguasa, tanpa kecurangan, tanpa kekerasan, dan mengutuk segala praktik jual beli suara (politik uang) yang dilakukan oleh peserta pemilu. Partai Politik harus mereformasi diri dalam menjalankan fungsi-fungsi atikulasi agregasi, dan pendidikan politik warga negara.
- Mengecam segala bentuk intervensi dan intimidasi terhadap kebebasan mimbar-mimbar akademik di Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus senantiasa menjaga marwah, rasionalitas dan kritisisme para insan civitas academica demi tegaknya republik.