Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Pantau Pilpres, Jangan Biarkan Kecurangan Menang!'

 

Pencoblosan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari ketika Bahrun menerima telepon di ruang kerjanya. Bahrun—yang meminta namanya disamarkan—merupakan seorang penyelenggara pemilu di sebuah kota di Pulau Jawa.

Hari itu, telepon yang ia terima rupanya berasal dari seorang aparat. Percakapan diawali dengan basa-basi. Bahrun menimpali lawan bicaranya dengan tutur kata ala korps seperti “Siap!” atau “[Mohon] arahan”.

Usai pembicaraan berakhir, Bahrun mengatakan bahwa sosok di ujung telepon tadi meminta data petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

Data para petugas pada dua tingkat terbawah perhelatan pemilu tersebut sesungguhnya bersifat terbuka. Komisi Pemilihan Umum Daerah telah merilis nama, jenis kelamin, dan TPS yang menjadi tempat mereka bertugas.

Namun, data-data yang diminta aparat seperti yang menelepon Bahrun tadi rupanya bersifat lebih rinci, mencakup nama petugas KPPS, nomor WhatsApp aktif, wilayah TPS, nama TPS, serta alamat kelurahan dan kecamatan tempat ia bertugas.

Berdasarkan informasi yang dihimpun kumparan dari beberapa penyelenggara pemilu, permintaan data petugas yang mendetail semacam itu juga bukan cuma terjadi di satu wilayah, melainkan di berbagai wilayah.

Pihak yang meminta data tersebut ialah para aparatur negara dari setidaknya tiga institusi, termasuk di instansi penegak hukum.

“Permintaan data kayak gini baru di H-7 [pencoblosan]. Kabarnya di grup WA eksternal sudah bocor soal ini. Sebenarnya enggak perlu minta data sampai nama dan area KPPS. Nanti ujungnya minta alamat. Itu sudah lain [niatnya],” ujar Bahrun saat berbincang dengan kumparan, Rabu (7/2).

Namun, Bahrun menyikapi santai permintaan data tersebut. Menurutnya, institusi tempat aparat yang memintainya data bertugas mestinya bersurat resmi ke KPU, bukannya menghubunginya secara personal. Oleh sebab tidak lewat jalur resmi itulah, Bahrun tidak serta-merta menyerahkan data yang diminta.

Tiga hari setelah kumparan menemui Bahrun, muncul praktik serupa. Hanya saja, kali ini lewat surat resmi. Adalah Polres Cimahi yang bersurat kepada Ketua KPU Kota Cimahi untuk meminta data petugas KPPS beserta nomor ponsel mereka.

Surat permintaan data petugas KPPS ini salah satunya merujuk ke Nota Kesepahaman KPU RI dan Polri Nomor NK/50/XII/2022 tentang Sinergitas Pelaksanaan Tugas dan Fungsi dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak tahun 2024.

Alasan permohonan data itu demi “memudahkan koordinasi selama kegiatan pengamanan tahapan Pemungutan Suara Pemilu Serentak Tahun 2024”.

Setelah surat tersebut beredar, Kabid Humas Polda Jabar Kombes Ibrahim Tompo membenarkan isinya. Menurutnya, surat itu dikeluarkan murni untuk memudahkan koordinasi keamanan, bukan untuk tujuan-tujuan lain.

“Kalaupun misalnya memang ada hal yang melanggar, aturan kita sudah jelas. Silakan saja dilaporkan, kami terbuka untuk hal begitu. Kita juga sama-sama jaga netralitas. Jangan ada polisi yang berpihak dan mengindikasikan ada hal lain,” ujar Ibrahim.

Komisioner KPU RI Divisi Hukum dan Pengawasan, Idham Kholik, mengatakan bahwa nama-nama petugas KPPS merupakan data publik yang bisa diakses atau diketahui siapa pun. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut soal sejauh dan sedetail apa data-data itu bisa diakses aparat.

Pengondisian Jelang Pilpres?

Oknum aparat ditengarai pula terlibat pengondisian kepala-kepala desa untuk memilih pasangan capres-cawapres tertentu. Situasi ini misalnya terjadi di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

“Dikumpulkan kepala-kepala desa oleh Kapolres. Ada juga Babinsa (Bintara Pembina Desa dari TNI), orang dari kabupaten. Mereka arahkan [kepala desa]:‘Kalau masih ingin kerja sama dengan kami, menangkan 02,’” ujar Tamsil Linrung, Asisten Pelatih Timnas Anies-Muhaimin, yang mendapat informasi itu dari para kades di daerah pemilihannya, Sulsel.

Sebelum pertemuan pengarahan terhadap para kepala desa itu, seluruh kades diminta mengumpulkan ponsel mereka dan meletakkannya di luar ruangan. Selanjutnya, dalam pengarahan, mereka diminta memenangkan Prabowo-Gibran sampai 80% di wilayah masing-masing.

Cara pemenangan yang disarankan bermacam-macam, mulai dari memanfaatkan posisi dan pengaruh mereka sebagai kades sampai menggunakan dana desa untuk serangan fajar alias bagi-bagi duit sebelum pencoblosan.

Jika para kades itu berhasil memenuhi misi tersebut, menurut aparat pengarah, “Dijamin tidak ada pemeriksaan [hukum] buat Anda.”

Soal dugaan adanya anggota TNI terlibat dalam pengondisian kepala desa di Bone, Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Kristomei Sianturi menyatakan hal tersebut dapat dilaporkan. Menurutnya, pelapor dapat menginformasikan rincian identitas pelaku seperti nama, pangkat, foto, dan isi arahannya.

“Kalau benar memang terbukti, akan kita proses sesuai aturan dan perundangan yang berlaku,” kata Kristomei kepada kumparan.

Pengondisian bukan cuma ditemukan oleh Timnas AMIN, tapi juga TPN Ganjar-Mahfud. Direktur Penegakan Hukum dan Advokasi TPN, Ifdhal Kasim, menyebut ada pemanggilan masif terhadap kades-kades di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera.

Mereka diminta membawa laporan penggunaan dana desa pada tahun sebelumnya. Di sinilah terendus aroma intimidasi.

“Harusnya prosedur penggunaan dana desa ada mekanisme pertanggungjawabannya sendiri. Polisi tidak bisa memanggil langsung kades-kades itu. Ada mekanisme lewat inspektorat yang periksa dan audit penggunaan dana desa. Apabila nanti ada pidana, baru diserahkan kepada aparat hukum,” ujar Ifdhal.

Karopenmas Humas Polri Brigjen Trunoyudo tak membenarkan maupun menampik dugaan pengondisian kades oleh aparat. Menurutnya, hal itu bisa ditanyakan kepada aparat daerah saja.

Sementara untuk kasus di Bone, Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Komang Suartana membantah adanya pengkondisian kades-kades oleh Kapolres.

“Saya sudah cek ke Kapolres. Berita itu tidak benar dan sudah diklarifikasi langsung oleh Kapolres Bone,” ujar Komang.

Perkara pengondisian jelang hari pencoblosan itu bahkan bukan hanya datang dari aparat keamanan. Sumber kumparan di lingkaran Istana Kepresidenan menyatakan, kecurangan turut melibatkan Kantor Urusan Agama yang tersebar di berbagai kecamatan.

Jaringan kantor di bawah Kementerian Agama yang mengurusi pernikahan, haji, dan acara-acara keagamaan itu dianggap memiliki akses langsung ke masyarakat. Oleh sebab itu, menurut sumber tersebut, para petugasnya diminta menemui tokoh agama setempat untuk meyakinkan mereka memilih paslon 02 dengan kompensasi: slot haji.

Sumber-sumber kumparan di kalangan petugas dan pejabat KUA di Cianjur, Karawang, Jember, dan Lumajang mengonfirmasi adanya ajakan untuk memilih paslon Prabowo-Gibran, juga untuk menggaet pemangku kepentingan yang bersinggungan dengan KUA di daerahnya.

“Iya, [arahan] itu secara lisan; instruksikan supaya majelis, amil, sekolahan (madrasah) mengondisikan ke 02,” jawab salah seorang penyuluh KUA di Karawang.

Pengondisian tersebut bahkan mensyaratkan petugas KUA terkait untuk memotret dan menggunakan kode tertentu untuk dikirim sebagai hasil laporan ke atasannya. Bahkan, menurut sumber itu, ketika gerilya ajakan mendukung paslon 02 itu dianggap kurang semangat, mereka ditegur Kemenag.

Seorang guru mengaji di Cianjur, Jawa Barat, membenarkan ada ajakan-ajakan dari KUA untuk mengarahkan dukungan ke paslon 02. Namun, ia tak pernah diimingi janji-janji berupa tukar guling dukungan dengan pemberian slot haji.

Merespons hal ini, Kepala Seksi Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Kabupaten Cianjur Rian Fauzi menyatakan, tak ada ajakan bagi para ustaz atau guru ngaji untuk memilih paslon tertentu. Menurutnya, Kemenag berkomitmen menjaga netralitas pemilu.

“Tidak ada bagian dari kementerian kami yang mengarahkan atau mengajak untuk mendukung salah satu calon,” kata Rian.

Di Jember, seorang penyuluh KUA bercerita ada kecenderungan pejabat Kemenag mengajak arahkan pilihan ke Prabowo-Gibran. Hal ini dilakukan pada sejumlah acara dengan menggunakan bahasa-bahasa kiasan yang halus.

Namun hal tersebut dibantah Kepala Kemenag Jember, Akhmad Sruji Bahtiar. Menurutnya, “Info atau pernyataan itu tidak benar sama sekali. Kita sudah mendapatkan surat edaran netralitas.”

Berbagai isu kecurangan yang dituding mengarah ke paslon 02 membuat TKN Prabowo-Gibran menuding balik dengan mengekspose dugaan kecurangan pemilu di Malaysia. Menurut TKN, kecurangan justru berasal dari paslon lain yang mencoblos lebih dulu surat suara.

“Bicara kecurangan pemilu, ya dia ingatkan dirinya bahwa enggak boleh curang. Kita enggak mau menyebar fitnah, hoaks, toh akhirnya semua tuduhan-tuduhan berbalik kepada mereka sendiri,” kata Komandan TKN Fanta Prabowo-Gibran, Arief Rosyid.

Tim Hukum dan Advokasi TKN Prabowo-Gibran, Fachri Bahmid, menyebut dugaan kecurangan pemilu di Malaysia memang mesti diusut. “Biar fair, agar kita (02) tidak jadi pihak yang dituduh terus, bahwa seluruh kecurangan ini ada di pihak TKN. Tidak seperti itu.”

Waspada Potensi Kecurangan di TPS

Segala temuan dugaan kecurangan menjelang hari pencoblosan membuat masing-masing paslon berjaga-jaga. Mereka mewaspadai kecurangan yang berpotensi terjadi saat pemungutan dan penghitungan suara berlangsung di Tempat Pemungutan Suara, dengan menyiagakan saksi di TPS dan memantau serta melaporkan bila ada serangan fajar.

Potensi kecurangan di TPS bukanlah omong kosong. Tiga sumber di lingkup penyelenggara dan pengawas pemilu bercerita, utak-atik suara dapat terjadi salah satunya dengan memanfaatkan Daftar Pemilih Khusus (DPK). Pemilih pada kategori ini mencoblos pada pukul 12.00–13.00 dengan hanya menggunakan KTP atau surat keterangan dari Disdukcapil. Mereka tidak masuk ke Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).

Sumber-sumber penyelenggara pemilu, di antaranya petugas KPPS, menyebut bahwa titik paling rawan ada pada petugas KPPS yang memegang absensi. Pasalnya, petugas ini bisa saja memasukkan DPK siluman, alias DPK yang sebetulnya bukan warga setempat tetapi memegang KTP atau surat keterangan palsu.

Modus ini memungkinkan karena tiap TPS memiliki tambahan 2% surat suara cadangan. Selain itu, surat suara sisa juga bisa digunakan DPK untuk mencoblos. Nah, surat suara sisa dan cadangan inilah yang berpotensi rawan digunakan untuk memasukkan DPK siluman.

“Dia (petugas curang) misalnya sudah menyiapkan 5–10 orang yang bawa fotokopi KTP, datang jam 12 siang. Dicek di absen TPS enggak ada, tapi bawa KTP warga setempat sesuai syarat DPK. Lalu mereka dibawa masuk dan bisa memilih walau enggak bawa formulir C6 (undangan memilih). Setelah pilih, dia bisa lompat ke TPS lain kalau satu domisili dalam satu jam,” kata penyelenggara pemilu yang meminta namanya tak disebutkan demi keamanannya.

Dengan demikian, pemilih siluman itu jam 12–13 siang bergentayangan ke TPS-TPS yang berdekatan untuk mencoblos calon tertentu.

Penyelenggara tersebut juga mengungkap dapatnya anggota KPPS beserta Ketua KPPS yang menandatangani surat suara menggunakan sisa surat itu untuk dicoblos sendiri. Hal itu bisa dilakukan dengan menandatangani absen DPT yang kosong atau tidak hadir–adapun nama-nama DPT sudah tercantum di absen sehingga tinggal ditandatangani secara bebas.

Menurut sumber ini, salah satu cara mencoblosnya yakni di bawah meja yang sudah disiapkan kail atau paku.

“[Ini bisa terjadi jika] pihak pengawas (panwaslu) juga dipegang (disuap) supaya tidak melihat. Sederhananya KPPS tanda tangan di absen untuk 3 orang, lalu coblos 3 surat suara, masukinnya pas kotak suara dibuka [untuk penghitungan], diselipin,” katanya menilik preseden dimaksud di sebuah wilayah di Jabodetabek.

Jika tanda tangan absen sudah sinkron dengan jumlah surat suara yang masuk, maka kecurangan dengan mencoblos surat suara oleh petugas KPPS tak akan diketahui. Inilah kerawanan yang terjadi pada surat suara sisa bagi yang golput dengan tidak hadir ke TPS.

“Cuma ini enggak bisa main semua jenis surat suara, paling pilpres (karena surat suara berukuran kecil). Kalau tiga surat suara dicoblos dilakukan di 100 TPS saja sudah (tambahan) 300 suara,” ujar sumber ini.

Komisioner KPU RI Divisi Hukum dan Pengawasan Idham Kholik menjelaskan proses pemungutan dan penghitungan suara tak hanya disaksikan oleh pengawas TPS (PTPS dari Bawaslu), tetapi juga oleh para saksi dari peserta pemilu, pemantau terdaftar, dan dapat dilihat langsung oleh publik.

Karenanya, menurut Idham, jika ada keberatan saksi dan kejadian khusus di luar ketentuan teknis yang diatur KPU di dalam pemungutan dan penghitungan suara, pemantau, masyarakat, dan jurnalis dapat menyampaikannya kepada publik secara luas. Hal itu juga dapat dilaporkan kepada Bawaslu.

“Daftar hadir pemilih di TPS dapat didokumentasikan oleh pengawas TPS dan saksi peserta pemilu dengan tetap mempedomani ketentuan aturan mengenai perlindungan data beri pribadi,” ujar Idham.

Potensi Utak-atik Suara di Rekap Berjenjang

Dua orang penyelenggara pemilu mengatakan urusan KPPS hanya sampai pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Setelah kotak suara diserahkan untuk direkap secara berjenjang mulai dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) hingga KPU RI, maka KPPS sudah tak tahu menahu urusan tersebut.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati, menyebut potensi kerawanan kecurangan pemilu justru lebih besar terjadi saat rekap di tingkat kecamatan. Salah satunya, soal transaksi jual-beli suara oleh para calon legislatif di internal partai sepanjang tidak mengubah total suara partai tersebut.

“Dari riset (Perludem) di Pemilu 2019 yang masuk ke (aduan) DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), banyaknya di kecamatan, karena ada praktik-praktik (transaksi) tadi,” kata perempuan yang akrab disapa Ninis itu.

Ninis menyebut pun jika ada utak-atik suara untuk pilpres, hal itu dapat terjadi di proses rekapitulasi kecamatan dengan mencurangi hasil form salinan C1 (C-Hasil). Dokumen inilah yang nantinya dibawa untuk dipindahkan ke form D-Hasil di kecamatan untuk direkap tingkat kabupaten/kota.

Apalagi menurut Ninis, proses rekapitulasi di kecamatan relatif tidak disaksikan secara umum oleh masyarakat meski dibolehkan. Berbeda dengan proses penghitungan di TPS yang cenderung dekat dengan rumah warga.

Meski demikian, kecurangan rekapitulasi di kecamatan dapat terjadi apabila semua pihak–saksi, panwascam, PPK–sepakat untuk mengkondisikan angka rekapitulasi dengan iming-iming imbalan rupiah, biasanya berkali-kali lipat dari upah resmi yang diterima para pihak. Sebab, ketiga pihak tersebut masing-masing memegang salinan form C-Hasil yang sama, sehingga apabila ada perbedaan angka akan ketahuan jika hasilnya dikondisikan.

“Nanti di situ ditulis berita acara, semua pihak akan tanda tangan, ini akan jadi pegangan kalau kemudian proses di atasnya juga belum sinkron (hasilnya beda). (Ketika saksi ngotot suara tak sesuai) biasanya dia enggak tanda tangan,” jelas Ninis.

Potensi utak-atik suara di rekapitulasi level kecamatan juga terjadi ketika tidak semua peserta pemilu dapat menghadirkan saksi. Menurut Direktur Eksekutif Netgrit Hadar Nafis Gumay, saksi juga harus cakap karena kalau tidak akan memperbesar potensi kecurangan oleh saksi peserta pemilu lain.

“Kalau saja (ada) saksi bisa membina hubungan kerja sama dengan penyelenggara, sementara saksi lain yang tidak lengkap, dan tidak punya pegangan yang cukup, misal salinan yang mereka punya dan mereka tidak menguasai untuk menggunakannya. Rekap ini butuh ketelitian dan kecermatan,” kat Hadar.

Sementara seluruh bukti otentik seperti surat suara hingga dokumen C1 plano (hasil penghitungan surat suara) dimasukkan ke kotak suara. Dalam perjalanannya, kotak ini tidak akan dibuka kecuali apabila ada dugaan kecurangan yang sudah diputus Mahkamah Konstitusi agar kotak tersebut dibuka. Maka kecurangan rekapitulasi tidak bisa ketahuan apabila tidak disoal di MK.

Modus-modus kecurangan semacam ini menurut Ninis dapat terjadi di seluruh wilayah Indonesia, meski kemungkinan besar terjadi di TPS wilayah terpencil. Berkaca pada putusan MK di pemilu sebelumnya, di 2019, 2009, bahkan 2004 transaksi jual-beli suara terjadi.

“Misalnya gini, dalam satu kabupaten/kota ada di sebagian kecamatan, terjadi di semua kecamatan mungkin nggak gitu ya. Tapi hanya di kecamatan-kecamatan tertentu aja tuh biasanya terjadi. Yang suaranya bisa enggak sama antara penghitungannya KPU, saksi, pengawas, itu bisa nggak sama,” kata Ninis.

Sebetulnya dalam proses rekapitulasi di tingkat kecamatan, KPU mengatur pelaksanaan teknis rekap PPK wajib menyiarkan secara langsung proses rekapitulasi tersebut kepada masyarakat luas. Menurut Komisioner KPU Idham Holik, sebelum rapat rekapitulasi digelar PPK mesti menyampaikan undangan kepada pengawas dan saksi peserta pemilu, plus mengundang Muspika–forum koordinasi pimpinan kecamatan yang terdiri dari Camat, Kapolsek, dan Danramil.

“Apabila ada dugaan atau indikasi kuat akan terjadinya electoral manipulation yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu badan ad hoc, dalam hal ini PPK, maka hal tersebut bisa dilaporkan Bawaslu,” jelas Idham.

Celah Rawan Sirekap

Meski hasil pemilu di Indonesia yang sah didasari oleh penghitungan dan rekapitulasi manual berjenjang dari TPS, kecamatan, hingga nasional, akan tetapi sebagai alat bantu penghitungan KPU memiliki sistem hitung cepat daring bernama Sirekap. Pada 2019, sistem ini dinamakan Situng.

Sirekap memiliki beberapa perbedaan proses bisnis dibanding dengan Situng. Dokumen yang diolah pada Sirekap adalah Plano C Hasil yang difoto dan langsung diproses (unggah) di TPS oleh petugas KPPS. Sedangkan pada Situng, dokumen yang diolah ialah salinan C Hasil yang mesti dibawa ke Kabupaten/Kota untuk dipindai dan diinput oleh operator Kabupaten/Kota.

Maka proses bisnis Sirekap akan menjadi lebih cepat karena langsung diproses di TPS. Walau demikian, menurut Ninis dari Perludem, perlu dipastikan petugas KPPS tidak gaptek dan bisa mengoperasikan Sirekap dengan benar.

Sebab, tersiar kabar sejumlah petugas KPPS mengalami kendala saat melakukan simulasi pengisian Sirekap pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Sumber-sumber kumparan dari kalangan KPPS menemukan data rincian suara pilpres pada halaman 2 C Hasil hanya bisa diubah pada nomor urut 01 dan 03 saja, sementara 02 tidak bisa. Data yang terbaca oleh aplikasi pada C Hasil pun ada yang tidak akurat.

Menurut seorang KPPS, penjelasan yang didapat dari PPK di wilayahnya ialah pada saat hari H, surat suara halaman 2 memang tidak bisa disunting. Hasil pembacaan scan foto perolehan suara pilpres hanya bisa dicentang apakah sudah sesuai dengan yang dibaca sirekap atau tidak.

“Yang bisa mengubah hanya PPK,” kata sumber ini.

Sumber kumparan dari kalangan istana menyebut per Januari 2024, ada 110 celah peretasan yang ada di Sirekap. Data Sirekap yang rawan diretas ini dapat digunakan sebagai alat psikologis untuk mempengaruhi massa pemilih dan mendelegitimasi hasil pemilu apabila tidak sesuai dengan hasil rekap manual berjenjang.

Sumber tersebut mencontohkan, jika seorang paslon mendapat suara 44% di rekap manual, sementara Sirekap sudah mencapai 60% perolehannya. Hal itu bisa menyebabkan geger di masyarakat.

“Pengalaman 2019 dengan Situng ya, ketika misal Situngnya enggak dipersiapkan dengan maksimal, ada salah input, ada salah hitung, ya orang kan justru jadi sampai sekarang misalnya mempertanyakan, ‘Oh KPU-nya curang, sistem diretas, dan sebagainya’,” jelas Ninis.

Soal kabar situsnya rawan diretas, KPU memastikan Sirekap memiliki ketahanan sistem komputasi yang cukup baik. Komitmen itu ditujukan dengan situs tersebut turut diregistrasi di Kemenkominfo dan dimonitor secara langsung dan terus menerus oleh gugus tugas kemanan siber yang dibentuk KPU.

Mengenai pembacaan hasil Sirekap Pilpres yang tak akurat pada saat simulasi input oleh KPPS, Komisioner KPU Idham Holik menjelaskan teknologi Sirekap untuk pilpres memakai Optical Mark Recognition (OMR), sedangkan untuk pileg (DPR, DPD, dan DPRD) menggunakan Optical Character Recognition (OCR).

“OMR lebih akurat. Tingkat akurasi OMR bisa mencapai 99%. Terkait kejadian tersebut, KPU segera konfirmasi ke pengembang web Sirekap untuk minta penjelasan,” kata dia kepada kumparan.

Idham menjelaskan proses unggah data yang dilakukan oleh KPPS merupakan hasil foto atas dokumen model C Hasil (Plano) di papan penghitungan. Foto itu tidak bisa diedit sehingga bersifat otentik, demikian pula dengan angka hasil pembacaan dokumen foto C Hasil tersebut.

“Hasil pembacaan tersebut memang tidak bisa diedit untuk menghindari moral hazard atau electoral fraud pihak yang tak bertanggung jawab. Jika terdapat ketidaktepatan atau ketidaksinkronan antara data dalam foto formulir Model C.Hasil (plano) dengan hasil pembacaan, maka baru dapat diperbaiki pada saat rekapitulasi secara berjenjang yang dimulai di tingkat PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan),” terang Idham.

Cara memperbaiki hasil pembacaan Sirekap yang tak akurat itu dengan memperlihatkan dokumen asli formulir Model C Hasil (Plano) di forum Rapat Pleno Rekapitulasi Perolehan Suara Peserta Pemilu di PPK yang dihadiri langsung oleh Pengawas Pemilu Kecamatan dan para saksi peserta pemilu yang bermandat serta disiarkan secara langsung dengan aplikasi internet live streaming seperti YouTube.

Sebelum rapat pleno itu, unggahan data hasil perolehan pemilu dari TPS yang masuk ke server Sirekap akan dicek terlebih dahulu oleh operator Sirekap KPU Kabupaten/Kota untuk melihat kesesuaian antara data perolehan peserta pemilu di C Hasil dan data numerik hasil pembacaan aplikasi Sirekap. Jika tak sesuai, operator itu langsung memperbaikinya sesuai angka yang benar pada foto C Hasil yang diunggah.

“KPU pastikan data hasil perolehan suara terpublikasi dan data terrekap adalah data yang otentik dan akurat sesuai Formulir Model C.Hasil (Plano) yang pengisian data tersebut sesuai hasil penghitungan suara oleh KPPS yang disaksikan oleh Pengawas TPS dan para saksi peserta Pemilu bermandat untuk TPS,” tutup Idham.

Sumber Berita / Artikel Asli : kumparan

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved