Ketua NCW Hanifa Sutrisna menduga adanya aliran dana dalam jumlah besar mengalir ke rekening Raffi Ahmad dan RANS Entertainment. Dana itu diduga berasal dari uang haram hasil korupsi dari koruptor.
Bukan hanya satu orang, Hanifa Sutrisna menduga koruptor yang menitipkan dana haram mereka ke Raffi Ahmad disebut ada beberapa orang. Salah satunya, mantan jenderal yang kini mendekam di dalam tahanan akibat terjerat kasus korupsi.
Hanifa Sutrisna meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan penelusuran dan membuka transaksi aliran dana yang mengalir ke Raffi Ahmad dan RANS.
"Kami minta PPATK, kami minta dibuka seluas-luasnya, seterang-terangnya tindak pedana pencucian uang yang dilakukan perusahaan yang tiba-tiba memiliki kekayaan ratusan miliar bahkan triliunan," kata Hanifa Sutrisna di kanal YouTube Nasional Corruption Watch dan juga diunggah di akun TikTok DPP NCW.
"Kami minta kepala PPATK segera mengungkap adanya transaksi tidak wajar ke rekening Raffi Ahmad. Jangan sampai nanti menguap dan kasus ini hilang," imbuhnya.
Selain itu, Hanifa Sutrisna juga meminta aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan atas aliran dana yang masuk ke rekening Raffi Ahmad dan RANS Entertainment untuk mengungkap fakta dan demi penegakan hukum sebagai upaya perang melawan korupsi.
"Kami meminta kepada KPK RI, Kejagung, Bareskrim Polri untuk memeriksa dugaan aliran transaksi uang Raffi Ahmad, aliran transaksi uang yang masuk ke RANS. Karena ini ada dugaan TPPU dan penerimaan gratifikasi oleh pejabat-pejabat negara yang menitipkan kekayaan atau dana pada oknum pemilik RANS," katanya.
Raffi Ahmad sendiri sudah angkat bicara usai dirinya dan RANS disebut menjadi kantong semar untuk mengelola dana haram para koruptor. Dia menegaskan bahwa hal itu tidak benar.
"Itu tidak benar," kata Raffi Ahmad saat ditemui di bilangan BSD Tangerang, Kamis (1/2).
Raffi Ahmad menduga munculnya tuduhan ini karena ada motif politik di dalamnya untuk mengecilkan calon presiden yang dia dukung dan dia jagokan dalam Pilpres 2024.