Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno oleh Tempo dikuliti terkait keterlibatannya dalam upaya pelanggengan kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mulai dari melobi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) hingga manuver ke partai-partai pendukung Prabowo Subianto untuk menerima putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, Pratikno dicap telah kehilangan etika dan nilai sebagai akademisi sekaligus mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sepak terjang Pratikno sebagai operator politik dikupas dalam Majalah Tempo bertajuk ‘Dari Rektor Menjadi Operator’.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan, Pratikno diduga telah melanggengkan kekuasaan sang majikan, dalam hal ini Presiden Jokowi. Bahkan Pratikno pun terseret dalam pusaran kasus korupsi BTS 4G Bakti Kominfo yang ditangani Kejaksaan Agung.
Editor Senior Tempo Bagja Hidayat membeberkan hal itu dalam kanal Youtube Tempodotco yang dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (1/2).
“Melobi hakim konstitusi agar membuka jalan politik bagi anak presiden tentu bukan ‘tugas lain’ dalam aturan itu (aturan soal tugas dan fungsi Mensesneg). Membujuk partai politik agar menerima anak Jokowi dalam koalisi pemilihan presiden juga bukan tugas seorang Menteri Sekretaris Negara,” ujar Bagja.
“Apa yang dilakukan Pratikno bukan hanya tak patut, juga mengkhianati intelektualitasnya sendiri sebagai akademikus. Alih-alih mengingatkan Jokowi agar tak terjerembab hasrat melanggengkan kekuasaan, ia justru menjadi operator yang mewujudkannya,” pungkas Bagja.
Jika tudingan tersebut benar, maka kisah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang pernah curhat dengan Pratikno soal sikap Jokowi yang punya hasrat melanggengkan kekuasaan menarik dibuka kembali.
Dalam kanal Youtube Akbar Faizal Uncensored, Kamis (9/11), Hasto mengutarakan keluh kesahnya soal Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober yang dinilainya ada intervensi dari istana.
Dia lalu curhat dengan Pratikno melalui Whatsapp. Hasto pun mengungkapkan bahwa Pratikno merespons kondisi itu (Putusan MK) dengan emosi dan menangis.
“Saya ingatkan ke Mas Pratik bahwa politik itu digerakan oleh nalar dan kebenaran, oleh kekuatan etika dan moral, oleh mata hati, dan jangan sampai kita mengkhianati itu. Beliau hanya bisa menjawab dengan emosi menangis,” ungkap Hasto.
Dalam percakapan tersebut, Hasto menyebut bahwa Pratikno telah memberikan suatu telaah kepada presiden namun seakan tak digubrisnya.
Hasto pun kemudian menceritakan kisahnya di tahun 2014, saat Pratikno diangkat menjadi Mensesneg. Ada banyak pesan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Pratikno dalam porsi sebagai Mensesneg.
“Ketika Mas Pratik ditugaskan sebagai Mensesneg dan kemudian bertemu Ibu (Megawati). Dan Ibu hanya menitipkan pesan bahwa Mensesneg itu menjadi tapisnya, artinya menyaring segala sesuatu yang akan ke presiden. Dan presiden inilah yang mengambil keputusan-keputusan atas dasar ketaatan kepada konstitusi,” beber dia.
Berikutnya, sambung Hasto mengenang pesan Megawati kepada Pratikno, Mensesneg merupakan tameng bagi tata pemerintahan negara agar bisa berjalan sebaik-baiknya berdasarkan mandat konstitusi.
“Sehingga istana itu tidak boleh terlalu terbuka. Istana itu menghasilkan keputusan strategis yang berkaitan dengan nasib lebih dari 270 juta rakyat Indonesia. Sekali bekerja sisi-sisi gelap dalam kekuasaan dampaknya tak terbayangkan. (Maka) beliau (Pratikno) harus menjadi benteng,” tandas Hasto.
Dari kisah tersebut, jika Pratikno benar menjadi operator pelanggeng kekuasaan Jokowi, bisa dikatakan saat itu Hasto pun tergocek dengan tangisannya. Ternyata Hasto justru berkeluh kesah dengan orang yang melobi MK untuk memuluskan Gibran.