WAKIL Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai gelombang protes yang menyuarakan keprihatinan atas kondisi demokrasi terkini makin besar.
Hal itu ditandai dengan pernyataan sikap dari beberapa civitas akademika universitas.
"Pertama, saya kira masyarakat, publik, termasuk juga civitas akademika UII dan UGM betul-betul merasakan keresahan tentang kondisi demokrasi di Indonesia, di mana berbagai bentuk penyimpangan, penyalahgunaan, maupun sikap tindak dari pemimpin negeri ini yaitu Pak Presiden (Jokowi) itu tidak menunjukkan sikap kenegarawanan yang seharusnya itu dilakukan di tengah situasi politik hari ini," terang Ardi saat dihubungi, Kamis (1/2).
Sebelumnya, civitas akademika UGM pun membacakan petisi yang mengungkapkan keprihatinan atas kondisi saat ini.
Hari ini civitas akademika UII pun membacakan pernyataan sikap 'Indonesia Darurat Kenegarawanan'.
Ardi menilai Presiden Jokowi telah membuat mencederai demokrasi dengan pernyataan presiden boleh kampanye dan memihak.
Pernyataan itu dinilai tidak memiliki landasan etika dan hukum. Karena akan berpengaruh pada instansi dan lembaga negara lain.
"Melalui pengaruh yang dia miliki terhadap berbagai lembaga yang ada di bawahnya untuk condong atau menguntungkan kandidat tertentu, di mana sebetulnya ada anaknya (Gibran Rakabuming Raka),” tegasnya.
Gelombang protes juga dinilai akan makin besar, dimulai dari UGM.
"Ini saya kira gelombang protes dari publik yang sudah dimulai oleh civitas akademika UGM, UII, lalu besok ada Unand," sambungnya.
Para akademisi telah mengambil sikap atas perilaku presiden yang dinilai mencederai demokrasi.
"Jadi kalangan kampus sudah melihat hal ini begitu meresahkan perilaku presiden ini, sehingga mereka sudah terpanggil untuk menyuarakan hal tersebut untuk kembali pada koridor demokrasi, kembali pada tata kelola pemerintahan yang baik dan benar," pungkasnya.
Prabowo Subianto Harus fair
Sementara itu, peneliti senior BRIN, Prof Lili Romli mengapresiasi langkah Mahfud MD yang menyatakan dari jabatan Menko Polhukam. Jaleswari Pramodhawardani juga mundur dari KSP.
Adapun alasan dari keduanya mundur adalah menjaga etika, menghindari konflik kepentingan, dan penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Lili, langkah keduanya patut diikuti oleh pejabat lain yang memiliki konflik kepentingan antara jabatan dan kegiatan politik mereka.
“Saya memberikan apresiasi terhadap pak Mahfud MD dan bu Dani yang berani melepaskan posisi jabatan strategis tsb. Ini bagian dari sikap yang gentleman's dan penuh tanggung jawab serta menjunjung tinggi etika sebagai pejabat publik,“ kata Lili.
“Mundur dari jabatan publik tersebut mestinya juga diikuti oleh pejabat publik lainnya, terutama mereka yang mendukung paslon 02. Langkah pak Mahfud tersebut mestinya juga diikuti oleh Pak Prabowo (Prabowo Subianto) yang maju sebagai capres. Ini penting agar tidak terjadi abuse of power. Jika tidak, peluang itu sangat besar dan tentu kompetisi tidak lagi fair,” jelas Prof Lili.
Selain itu, kemarin sempat beredar kabar bahwa sejumlah Menteri akan mundur dari kabinet.
Bahkan laporan media massa menyebutkan, Ketum PDIP Megawati sampai turun tangan menasehati beberapa menteri untuk bersabar di posisinya.
Prof Lili menilai, hal itu mungkin saja terjadi, terlebih pada menteri menteri koalisi PDIP dan Perubahan.
“Mungkin ibu Mega akan melihat moment yg tepat. Apabila cawe-cawe dan manuver Jokowi makin gamblang menggembosi basis massa PDIP, serta meminggirkan menteri dari PDIP, bisa jadi akan mempercepat langkah bu Mega mengambil putusan. Jadi masih wait and see, lihat sikon dinamika politik,” ungkap Lili.
Tidak bisa dipungkiri, kondisi di dalam kabinet sedang tidak kondusif. Tingginya konflik kepentingan, keberpihakan, netralitas yang digaungkan justru diobrak-abrik.
“Bisa jadi mereka tidak nyaman dg langkah2 dan sikap Presiden yang secara terang benderang berpihak ke paslon 02. Kasus ibu Risma yang tidak dilibatkan dalam kebijakan dan penyaluran bansos, alih mengajak menteri yang lainnya yang bukan tupoksinya,” tandas Lili.