UPAYA pengoyakan terhadap jalannya demokrasi di Indonesia semakin kencang mendapat perlawanan dari kaum terdidik dan intelektual.
Mendekati hari H pelaksanaan Pemilu 2024, desakan agar elite penguasa kembali ke jalan demokrasi dan konstitusi yang benar kian banyak disuarakan oleh sivitas akademika perguruan tinggi (kampus).
Setelah sivitas akademika UGM dan UII di Yogyakarta mendesak penyelamatan demokrasi, kemarin, sivitas akademika Universitas Indonesia (UI), Universitas Andalas (Unand) Padang, serta Forum Guru Besar dan Dosen Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar menyerukan desakan serupa.
Mereka mengkritik tata kelola pemerintahan serta kehidupan demokrasi nasional yang semakin merosot.
Sivitas akademika UI menggelar aksi Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali di bundaran (Rotunda) depan Rektorat UI.
"Jelang Pemilu 2024 kami terpanggil menabuh genderang, membangkitkan asa, dan memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak," kata narahubung aksi Sulistyowati Irianto.
Negeri ini, ucapnya, tampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa yang menggerus keluhuran budaya dan kesejatian bangsa.
"Maka, warga dan alumni UI prihatin atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, dan hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat," tegasnya.
Di Padang, Sumatra Barat, Manifesto Unand untuk Penyelamatan Bangsa yang diteken puluhan dosen dan mahasiswa menyatakan menolak segala bentuk praktik politik dinasti dan pelemahan institusi demokrasi.
"Kita mendesak Presiden Joko Widodo tidak menggunakan kekuasaan yang memicu terjadinya praktik kecurangan pemilu," kata Rudi Febriamansyah, yang didapuk membacakan manifesto di Convention Hall Unand, Kota Padang.
"Kita juga mengajak masyarakat bersikap kritis dan menolak politisasi bantuan sosial untuk kepentingan politik status quo/kelompok tertentu dalam politik elektoral, kekerasan budaya, pengekangan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat, serta penyusutan ruang sipil."
Dari Makassar, Sulawesi Selatan, Forum Guru Besar dan Dosen Unhas mulai bergerak dengan menyampaikan pernyataan sikap penyelamatan demokrasi.
"Kita menjaga koridor demokrasi. Kalau ada yang keluar (jalur), wajib kampus mengingatkan kembali. Itu tugas kampus sebagai penjaga peradaban, penjaga demokrasi," ujar inisiator kegiatan, Prof Amran Razak.
Forum Rektor Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah (PTMA) juga menyatakan sikap prihatin atas proses demokrasi yang berjalan menyimpang.
Mereka menyeru Pemilu 2024 mesti menjadi momentum untuk memilih pemimpin yang mampu membawa Indonesia menjadi negara bermartabat.
Hak Demokrasi
Pengamat budaya politik Okky Madasari menyebut fenomena protes sivitas kampus di Tanah Air itu merupakan bentuk mosi tidak percaya kelompok menengah terdidik terhadap rezim penguasa.
Tindak tanduk penguasa sudah dipandang tidak dapat diterima, baik secara logika, hati nurani, maupun nilai etika.
"Ini adalah protes keras kelompok intelektual terhadap Presiden Jokowi," terang Okky kepada Media Indonesia, kemarin.
Sejarah, kata dia, selalu menunjukkan bahwa gerakan perubahan atau revolusi selalu dimulai dengan kegelisahan dan kemarahan kelas menengah.
"Kita menunggu ITB, IPB, Unpad, Unair, Undip, dan secara psikologis penting, UNS," ujarnya.
Tokoh prodemokrasi yang juga mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan sependapat dengan para guru besar yang mengkritisi sikap politik Jokowi.
Sikap Presiden mendukung dan berpihak kepada paslon tertentu dalam Pemilu 2024 telah membuat runtuhnya etika politik pemimpin bangsa.
Di sisi lain, Presiden Jokowi tak ambil pusing dengan munculnya sejumlah petisi untuk dirinya. Ia menganggap itu bagian dari hak demokrasi.
"Itu hak demokrasi. Setiap orang boleh berbicara, berpendapat," ujarnya di Tanjung Priok, Jakarta, kemarin. (LN/YH/Tri/Van/Bob/X-3).