Geger lagi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kali ini adalah pemberian sanksi pemotongan tunjangan kinerja yang diberikan secara massal, kepada 120 periset plus satu kepala pusat riset.
Kronologinya berawal dari publikasi sebuah karya tulis ilmiah yang dilakukan bersama-sama oleh 123 periset di Jurnal LAND pada 16 Juni tahun lalu.
Mereka, kebanyakan eks peneliti di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dianggap melanggar etika diduga atas klaim equal contribution dalam karya tulis itu.
Berasal dari empat pusat riset berbeda, sebanyak 120 dari 123 anggota tim penulisnya yang berasal dari Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, akhirnya dijatuhi sanksi.
Penulis pertama atau ketua tim penulis yang termasuk di antara 120 periset itu mendapat pemotongan tukin sebesar 30 persen selama setahun per Januari lalu.
Sisanya dipotong sebesar 10 persen. Sanksi juga menyasar Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Anang Setiawan Achmadi.
Dia dipotong tukin-nya sebesar 30 persen ditambah penurunan pangkat karena dianggap melakukan pembiaran.
Satu di antara anggota tim penulis dan mendapat sanksi tersebut adalah Ika Heriansyah, doktor bidang silvikultur pemulihan ekosistem.
Dia termasuk di antara penulis utama untuk karya tulis berjudul 'A Chronicle of Indonesia's Forest Management: A Long Step towards Environmental Sustainability and Community Welfare' tersebut.
"Pemberian sanksi ini tidak jelas dan kami bertanya-tanya, 'ini dagelan apa lagi'," katanya kepada TEMPO, Rabu malam 31 Januari 2024.
Ika mengungkap artikel ilmiah yang dipublikasi itu menganalisis pengelolaan hutan Indonesia sejak masa kolonial dan pra-kolonial sampai tantangannya saat ini dan masa depan.
Di dalamnya dituliskan kalau Indonesia selama dua dekade ke belakang dikenal sebagai negara dengan tingkat deforestasi yang tinggi, penghasil asap kebakaran hutan dan lahan, serta produsen emisi karbon.
"Konflik-konflik di antara kepentingan ekonomi dan kepentingan perlindungan lingkungan, seperti halnya juga antara para aktornya, masih menjadi pekerjaan rumah yang serius," bunyi bagian kesimpulan dari artikel review itu.
Ika mengaku tak mendapat respons negatif atas isi publikasi tersebut. Dia mengungkap kalau tim penulis kaget karena kemudian ditarik ke masalah etika.
Menurut dia, yang disoal adalah kontribusi dari seluruh 123 penulisnya yang diklaim setara.
Padahal, Ika berpendapat kalau penerbitan karya tulis ilmiah baik di jurnal nasional maupun internasional adalah hak dan kewenangan serta independensi peneliti.
Dan, dia menambahkan, equal contribution tak tertolak dalam publikasi artikel 'A Chronicle' karena para penulisnya dari multi-disiplin ilmu.
"Kami juga lakukan review internal. Kami lakukan bersama-sama," kata Ika.
Terlebih, Ika juga mengaku kalau publikasi tidak dimaksudkan untuk klaim prestasi kinerja di lingkungan BRIN.
Sejak awal, menurutnya, publikasi dengan biaya mandiri itu ditujukan untuk melanjutkan rencana lama membuat buku untuk KLHK. Sanksi, karenanya, dianggap tak memiliki subyek.
"Publikasi ini tidak dimaksudkan untuk kami klaim sebagai capaian target kinerja di BRIN, tapi lebih kepada menjaga kontribusi kepada kementerian yang membesarkan kami, yang kami tinggalkan karena regulasi," kata Ika.
Subarudi dari Pusat Riset Kependudukan, Organisasi Riset Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora, juga menjadi penulis utama dari artikel 'A Chronicle'.
Bedanya, dia tidak mendapat sanksi dari Dewan Etik BRIN. Subarudi menyatakan keprihatinan atas kriteria penjatuhan sanksi dan pelaksanaannya yang dinilainya tak jelas.
Karena ketidakjelasan itu, Subarudi menolak membuat surat permohonan maaf dan menolak mencabut artikel yang sudah terbit.
Apalagi, pemilik gelar profesor riset ini telah mengecek jumlah sitasi dari artikel 'A Chronicle' per Rabu lalu oleh Scopus yang disebutnya cukup tinggi, yaitu sekitar 45 sitasi. Artikel juga telah dilihat hampir 6 ribu kali.
"Dengan demikian, tidak ada argumentasi yang valid dan benar untuk memberikan sanksi etika," kata dia.
Menurut Subarudi, BRIN seharusnya bangga karena ini baru pertama kali sejak Indonesia Merdeka seratusan penulis (semuanya Warga Negara Indonesia) menulis karya tulis ilmiah di Jurnal Internasional Terindeks Bereputasi Tinggi (Q1). Para penulis, menurut dia, seharusnya mendapat penghargaan.
"Bukan malah diberikan hukuman dan sanksi etika terhadap para penulisnya."
Hingga artikel ini dibuat, TEMPO belum mendapat penjelasan dari BRIN perihal sanksi pelanggaran etika massal tersebut dan konfirmasi penyebabnya. Sambungan telepon dan isi pesan kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tak berbalas.
Upaya mendapatkan keterangan dari Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi yang membawahi Direktorat Repositori, Multimedia, dan Penerbitan Ilmiah juga belum direspons.
Sumber Berita / Artikel Asli : tempo