Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebut tak ada yang salah dari Presiden Jokowi membagi-bagikan bansos di musim Pemilu 2024. Bagaimana penjelasannya?
"Bansos. Kan kepala negara boleh. Kecuali kemudian pak Jokowi bilang pilih ini ya.. baru enggak boleh." kata Bagja di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/2).
Lalu, Bagja menjelaskan, apa yang dilakukan Jokowi adalah tugas kepala negara.
"Pertanyaannya, Pak Jokowi sebagai kepala negara atau Paslon? Enggak bisa indikasi," jelasnya.
Kata dia, selama tidak ada ajakan memilih, semua sah-sah saja.
"Selama tidak ada kata-kata (ajakan memilih) enggak masalah," jelasnya.
Baginya, sulit untuk memproses Jokowi bila bagi-bagi bansos. Sebab, itu memang menjadi program pemerintah.
"Selama tindakannya tidak seperti itu, mengatakan demikian, itu agak sulit. Karena bansos hadir dalam bantuan pemerintah, dan ini ada pada tahun 2019 juga ada di 2014 bukan kemudian sama, yang penting sebagai kepala negara tidak melakukan saat pelaksanaan program pemerintah," tutupnya.
Pengamat Sebut Politisasi Bansos Picu Masyarakat Ogah Bayar Pajak
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho memandang politisasi bantuan sosial (bansos) dapat membuat kepercayaan masyarakat untuk membayar pajak menurun.
Andry bilang, dengan politisasi bansos, masyarakat akan meragukan pengelolaan anggaran oleh pemerintah. Sehingga timbul kepercayaan anggaran dipergunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya.
“Sinyal ketidakpercayaan terhadap pengelolaan anggaran itu merembet kepada kepercayaan masyarakat bayar pajak, karena dianggap bahwa pajaknya akan dipergunakan untuk hal-hal yang tidak tepat sasaran,” kata Andry kepada kumparan, Senin (5/2).
Pemerintah tetap pada perencanaan yang telah ditentukan. Artinya tidak ada tindakan mengotak-atik waktu penyaluran bansos.
Andry bahkan menyebut tindakan perapelan bansos untuk Januari hingga Maret pada Februari ini sebagai belanja ugal-ugalan pemerintah.
“Harusnya pemerintah berada pada perencanaan yang ada, kalau harusnya Maret ya Maret, karena itu jadi implikasi kepada kesinambungan fiskal kita goyah gara gara belanja ugal-ugalan untuk bansos yang tidak sesuai perencanaan,” tambah Andry.
“Ini menjadikan presiden yang tidak cukup baik bagi pengelolaan APBN kita, ini kan harusnya disepakati oleh DPR, oleh legislatif, ini eksekutif melakukan eksekusi di luar perencanaan yang sudah ada,” imbuhnya.
Andry juga bilang, tindakan memundurkan bansos yang seharusnya disalurkan pada Maret menjadi pada Februari ini sebagai bantuan elektabilitas yang tidak hanya dimanfaatkan untuk momen pemilihan presiden, tetapi juga pemilihan legislatif.
“Menurut saya bansos ini 100 persen politisasi, jadi mereka yang di eksekutif dan legislatif memanfaatkan untuk menaikkan elektabilitas, jadi sebetulnya mereka memanfaatkan ini untuk menaikkan elektabilitas, jadi menurut saya ini bantuan elektabilitas,” pungkas Andry.
Dalam catatan kumparan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menebar bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 11,25 triliun untuk 18 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bantuan itu diberikan untuk memitigasi risiko pangan.
"Kalau untuk tiga bulan itu (anggarannya) Rp 11,25 triliun untuk 18 juta KPM, Januari, Februari, sampai Maret," kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin (29/1).
Mengenai proses penyaluran, Sri Mulyani mengatakan bansos tersebut akan diberikan untuk tiga bulan sekaligus pada bulan Februari.
"Ini sudah hampir selesai (Januari) tapi dari Kemensos untuk urusan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran)-nya, dan penggunaan data-nya dan appointment terhadap cost. BLT diberikan tiga bulan sekaligus (di Februari), nanti kita lihat kesiapan dari Kemensos," ungkapnya.