Isu pemakzulan Jokowi sebagai presiden muncul setelah kelompok Petisi 100 mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md di kantornya pada Selasa, 9 Januari 2024. Kedatangan mereka untuk melaporkan dugaan kecurangan pemilu 2024, hingga usulan pemakzulan presiden.
Tuntutan pemakzulan itu buntut dugaan pelanggaran konstitusional Jokowi, antara lain nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi atau MK dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana menganggap isu mengenai pemakzulan Presiden Joko Widodo ini adalah mimpi politik. Istana menerima kritik terhadap Presiden Jokowi, namun mengingatkan ada pihak yang mengambil kesempatan menjelang pemilu 2024.
“Dalam negara demokrasi, menyampaikan pendapat, kritik atau bahkan punya mimpi-mimpi politik adalah sah-sah saja. Apalagi saat ini kita tengah memasuki tahun politik, pasti ada saja pihak-pihak yang mengambil kesempatan gunakan narasi pemakzulan presiden untuk kepentingan politik elektoral,” kata Ari saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 Januari 2024.
Pemakzulan atau impeachment sebenarnya bukan hal baru bagi perpolitikan di Indonesia. Bahkan parlemen Indonesia atau Majelis Permusyawaratan Rakat dua kali memakzulkan Presiden.
Yang pertama terjadi di awal Orde Baru di bawah Soeharto. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dalam sidang 12 Maret 1967 membahas pemakzulan Presiden Sukarno karena dituduh mendalangi kudeta Gerakan 30 September.
Upaya ini berhasil menggulingkan Sukarno, Proklamator dan Presiden Pertama RI. Ia lalu digantikan oleh ketua presidium kabinet Jenderal Soeharto sebagai penjabat presiden dan kemudian menjadi presiden penuh.
Pemazulan kedua dialami Presiden Abdurrahman Wahid di awal Reformasi. MPR menggelar sidang istimewa pada 23 Juli 2001 untuk menjatuhkan Presiden karena mencoba membubarkan parlemen.
Sidang itu berhasil memakzulkan Gus Dur. Wakil Presiden Megawati Soekarno kemudian menjadi presiden, dan posisinya diisi oleh Hamzah Haz.