Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik revisi kedua Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tahun politik, Selasa (5/12/2023).
Apalagi UU ITE tersebut juga masih memuat pasal karet dan berpotensi digunakan sebagai alat kriminalisasi.
"Dalam beberapa hal, UU ITE ini jadi kayak satu produk UU yang mengancam dan menindas gitu ya. Dan kerap kali digunakan dalam kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan," kata Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS di Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Alih-alih dihapus, kata Dimas, pemerintah dan DPR justru menambah muatan pasal bermasalah itu. Pasal yang dimaksud Dimas adalah Pasal 27. Dalam pasal disisipkan 2 pasal menjadi 27A dan 27B. “Pasal itu kerap kali digunakan dalam konteks kriminalisasi dan juga pembungkaman masyarakat," ujarnya.
Pasal 27A berbunyi: "Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik"
Kemudian Pasal 28B Ayat 2 terkait pencemaran. (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya: a. memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain; atau b. memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.
Dimas menyebut beberapa pasal lainnya yang bersifat karet yakni Pasal 45 dan Pasal 40 yang membuka kemungkinan pemerintah mengendalikan akses informasi. Dimas menilai UU ITE yang baru ini akan tetap membuat masyarakat ketakutan mengemukakan pendapat atau berekspresi.
"Ini menciptakan situasi-situasi penutupan partisipasi masyarakat, terutama dalam konteks kebebasan ekspresi berpendapat dan menyampaikan pikirannya gitu ya di ruang digital," ujarnya.
Dimas pun menduga akan lebih banyak orang lagi yang dilaporkan dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Berdasarkan data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) saja, sepanjang Januari-Oktober 2023, setidaknya ada 89 kasus kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE.
"Jelas akan makin banyak yang dikriminalisasi. Kalau kita lihat sebenarnya dari segi penggunaan atau implementasi undang-undang ini pasti akan berimplikasi terhadap jalannya proses pra-pemilu ya, terutama dalam konteks kampanye politik," ucap dia.
Dimas menyebut pasal-pasal karet di UU ITE bisa digunakan untuk saling serang antarkubu dalam mengkriminalisasi pandangan lawan politiknya.
Padahal, kata dia, kebebasan berekspresi politik juga seharusnya dijamin oleh negara. Dia berpendapat hak warga dalam Pemilu itu bukan hanya soal hak memilih dan dipilih, melainkan juga hak mengemukakan pendapat.
"Ekspresi-ekspresi politik itu kan sebuah hal yang harusnya dilindungi gitu ya. Ekspresi-ekspresi politik, ekspresi atau referensi politik yang berbeda itu kan harus dilindungi dan harus dijaga," tuturnya.
Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).