Thailand disinyalir memiliki akses khusus ke kelompok Hamas Palestina. Hal ini terungkap sesaat setelah pembebasan awal beberapa sandera asal Negeri Seribu Pagoda dari Gaza.
Usaha pembebasan sandera warganya dari Hamas tak hanya dilakukan pemerintah Thailand melalui jalur resmi, tetapi juga lewat negosiasi terpisah.
Diketahui tim kecil Muslim Thailand memulai negosiasi terpisah yang akan mengarah pada pertemuan eksklusif dengan Hamas.
Difasilitasi oleh seorang sarjana Thailand di Iran, pertukaran pesan dilakukan antara perwakilan Hamas di Teheran dan Ketua DPR Thailand Wan Muhamad Noor Matha, serta seorang politisi veteran Muslim.
Selanjutnya, pertemuan dua jam diadakan di ibu kota Iran pada tanggal 26 Oktober. Di sana, delegasi yang terdiri dari tiga orang dari Thailand bertemu dengan Khaled Qaddoumi, salah satu negosiator dari Hamas.
Qaddoumi berjanji kepada para delegasi bahwa para tawanan asal Thailand, yakni puluhan pekerja pertanian dari pedesaan Thailand, akan dibebaskan segera setelah keadaan aman.
Diskusi paralel tersebut membuahkan hasil, yakni pembebasan lebih banyak warga negara Thailand setelah kelompok sandera pertama yang dibebaskan oleh Hamas. Lebih banyak lagi dibebaskan selama gencatan senjata yang gagal selama seminggu dengan Israel.
Para analis mengatakan terobosan ini dimungkinkan melalui hubungan lama Thailand dengan dunia Arab dan negosiasi diplomatik multilateral, khususnya antara Muslim Thailand dan Hamas.
"Hamas mengatakan kepada kami bahwa kami adalah kelompok pertama dan satu-satunya yang melakukan percakapan langsung dengan mereka," kata Lerpong Syed, salah satu perunding asal Thailand, kepada Channel News Asia, dikutip Rabu (6/12/2023).
Dr Lerpong mengatakan delegasi tersebut tidak mewakili pemerintah Thailand dan tidak memiliki daya tawar, dan yang mereka lakukan hanyalah memohon bantuan.
"Kami meminta mereka membantu membebaskan warga Thailand karena warga Thailand tidak terlibat dalam konflik. Pembicaraannya berlangsung lama," jelasnya.
Sebulan kemudian, ketika gencatan senjata yang ditengahi Qatar mulai berlaku, kehadiran 10 pekerja Thailand dalam kelompok sandera pertama yang dibebaskan oleh Hamas disambut dengan kejutan dan keraguan.
Mereka dibebaskan berdasarkan perjanjian terpisah dari perjanjian gencatan senjata antara Hamas dan Israel dan kemudian diikuti oleh 13 warga Thailand lainnya pada hari-hari berikutnya.
Ke-23 orang tersebut telah kembali ke negaranya. Sebanyak 17 orang terbang kembali minggu lalu, sementara enam lainnya tiba di Bangkok pada Senin, 4 Desember lalu.
Sembilan warga negara Thailand masih ditawan di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas, menurut Kementerian Luar Negeri Thailand, dengan ketidakpastian mengenai pembebasan mereka setelah gagalnya gencatan senjata satu minggu setelahnya.
Pada saat yang sama, para analis mencatat bahwa Hamas akan mendapatkan keuntungan dari pembebasan tanpa syarat tersebut.
Kelompok militan tersebut ditetapkan sebagai organisasi teror oleh negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris.
"Hamas ingin memiliki soft power di komunitas global. Mereka menginginkan teman," kata pakar Timur Tengah Arthit Thongin dari Fakultas Ilmu Politik, Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat. Ia menggambarkan langkah tersebut sebagai "kemenangan cepat" bagi kelompok bersenjata.