Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas membeberkan alasan di balik usulan perusahaan untuk segera mendapatkan kepastian perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang akan berakhir pada 2041 mendatang.
Tony menyebut, pihaknya mengusulkan perpanjangan IUPK setelah 2041 kepada Pemerintah Indonesia tak lain untuk mengoptimalkan manfaat bagi kedua belah pihak, baik perusahaan maupun negara.
Dari sisi negara, ini juga penting agar penerimaan negara tidak berkurang. Dia menyebut, PTFI berkontribusi pada penerimaan negara sekitar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 60 triliun per tahun.
Tak hanya penerimaan negara, menurutnya perusahaan juga turut berkontribusi pada pengembangan masyarakat, ketenagakerjaan, lingkungan, dan lainnya.
"Ini kan sebetulnya ada dua belah pihak. Karena kalau berhenti di 2041, padahal sumber dayanya ada, berarti kan penerimaan negara berhenti di 2041 yang jumlahnya kira-kira US$ 4 miliar atau Rp 60 triliun setahun. Program community development kita juga berhenti yang setiap tahun Rp 1,5 triliun, employment 30.000 orang juga berhenti di 2041. Jadi untuk kepentingan semua pihak, kalau memang ada potensi melanjutkan, ya sebaiknya dilanjutkan. Jadi semua mendapatkan manfaat," jelasnya di Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, dikutip Senin (04/12/2023).
"Ya kan memang untuk kepentingan semua pihak, kepentingan pemerintah, kepentingan masyarakat Papua, pemerintah daerah," imbuhnya.
Dia menjelaskan, dari sisi perusahaan, usulan ini juga terkait dengan kelanjutan investasi dan kegiatan eksplorasi perusahaan setelah 2041 mendatang. Terlebih, lanjutnya, aktivitas tambang dari mulai eksplorasi hingga berproduksi membutuhkan jangka panjang atau sekitar 15 tahun.
Bila kepastian perpanjangan IUPK bisa segera diberikan Pemerintah Indonesia dalam waktu dekat ini, maka perusahaan sudah bisa merencanakan aktivitas tambang pasca 2041, khususnya untuk kegiatan eksplorasi.
Dia menyebut, dengan cadangan yang sudah ada saat ini, sudah cukup bagi perusahaan untuk bisa berproduksi sampai 2041. Adapun umur cadangan yang ada saat ini menurutnya cukup hingga 2050.
Bila tidak ada kepastian perpanjangan, atau bila kepastian perpanjangannya baru diberikan pada 2039 atau dua tahun sebelum IUPK berakhir, maka dikhawatirkan akan ada kekosongan aktivitas pertambangan setelah 2041.
"Kita perlu 15 tahun kira-kira untuk membangun tambang supaya tidak terjadi kekosongan produksi pada tahun 2041. Kalau baru tahun 2039 diperpanjang, ya kita nanti nambangnya 2055," ucapnya.
Dia menjelaskan, dengan belum adanya kepastian perpajangan IUPK pasca 2041, saat ini perusahaan masih menghentikan kegiatan eksplorasi baru. Pasalnya, pihaknya harus memberikan justifikasi kepada para pemegang saham mengapa perusahaan harus melakukan eksplorasi, sementara cadangan yang ada saat ini cukup hingga 2041 dan belum ada kepastian perpanjangan.
Saat ini mayoritas saham PTFI memang sudah dimiliki Indonesia melalui Holding BUMN Pertambangan MIND ID sebesar 51,2% dan selebihnya dimiliki Freeport McMoran (FCX).
"Saya masih belum bisa eksplorasi hari ini, saya mana bisa justifikasi ke seluruh stake holder saya, saya mau keluarin uang, untuk apa saya keluarin uang? (kalau belum ada jaminan perpanjangannya). Yang ada sekarang aja (cadangan) kita nggak bisa eksploitasi penuh, karena cuma sampai 2041 kan," tuturnya.
Kalau segera ada kepastian perpanjangan IUPK setelah 2041, maka pihaknya akan melanjutkan kegiatan eksplorasi.
"Kita bakal lanjut eksplorasi karena kita meyakini bahwa di bawahnya itu masih ada cadangan-cadangan yang cukup," imbuhnya.
Adapun terkait permintaan Pemerintah Indonesia untuk menambah saham 10% di PTFI, menurutnya ini termasuk salah satu isu yang dibahas dalam perpanjangan IUPK ini.
Begitu juga dengan permintaan dibangunnya fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) baru di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, menurutnya ini juga salah satu yang tengah dibahas dengan pemerintah.
"Itu masih didiskusikan sebenarnya, tapi pembangunan smelter baru dan saham 10% mulai 2041 itu adalah salah satu paket dari perpanjangan itu. Yang masih dibicarakan, masih ada tahap finalisasi," tuturnya.
Sebagai informasi, sumber daya Freeport Indonesia saat ini tercatat sebesar 3 miliar ton dan diperkirakan cukup hingga 2050. Produksi bijih (ore) saat ini sekitar 220.000 ton per hari dari tambang bawah tanah. Sejak 2020 lalu PTFI telah menghentikan aktivitas produksi di tambang terbuka (open pit) Grasberg, dan bertahap meningkatkan produksi di tambang bawah tanahnya.
Adapun area produksi tambang Freeport ini berada di lahan seluas 9.946 Hektare (Ha) dan luas area penunjang sebesar 116.783 Ha di Kabupaten Mimika, Papua Tengah.
Dari produksi bijih (ore) tersebut kemudian diolah menjadi konsentrat tembaga. Dari kapasitas produksi sekitar 3 juta ton konsentrat per tahun, perusahaan mengirim konsentrat sekitar 1 juta ton per tahun ke smelter tembaga di Gresik, Jawa Timur, yang dioperasikan PT Smelting, untuk kemudian diolah menjadi logam atau katoda tembaga. Dan selebihnya diekspor.
Namun mulai 2024, perusahaan akan mengirimkan semua konsentratnya ke smelter dalam negeri. Pasalnya, perusahaan tengah mengerjakan proyek ekspansi smelter PT Smelting yang bisa meningkatkan penyerapan pengolahan konsentrat sebesar 300.000 ton menjadi 1,3 juta ton per tahun.
Lalu, perusahaan juga tengah membangun smelter baru di Java Integrated Industrial and Ports Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur. Adapun kapasitas smelter baru ini yaitu mengolah 1,7 juta ton konsentrat per tahun dan bisa menghasilkan 600.000 ton katoda tembaga per tahun.
Hingga akhir November 2023 ini, progres pembangunan fisik smelter baru Freeport ini diperkirakan telah mencapai 83% dan pembangunan fisik ditargetkan rampung pada akhir Desember 2023. Pada awal 2024, akan dilakukan pre-commissioning dan commissioning untuk memastikan seluruh peralatan dan fasilitas berfungsi.
Smelter baru dengan investasi sekitar US$ 3 miliar atau sekitar Rp 45 triliun ini ditargetkan mulai beroperasi pada Mei 2024, dan secara bertahap diperkirakan akan beroperasi penuh (full capacity) pada Desember 2024.