MANTAN Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI periode 2015-2019, Agus Rahardjo, dalam wawancaranya di Kompas TV, membuka satu atau beberapa hal, dan menutup satu atau beberapa hal lainnya.
Apa yang disampaikan Agus Rahardjo sangat berpotensi menjadi bola liar di tengah kompleksitas lanskap politik di tanah air akhir-akhir ini.
Itu kesimpulan sementara setelah menyimak dari awal wawancara Agus Rahardjo di Kompas TV yang bagi sebagian kalangan cukup menghebohkan beberapa hari terakhir ini.
Hal yang dibuka Agus Rahardjo misalnya adalah soal intervensi Presiden Joko Widodo pada kasus E-KTP yang melibatkan, antara lain, Ketua DPR RI Setya Novanto.
Dalam wawancara itu Agus mengaku pada suatu hari dipanggil sendirian ke Istana. Untuk masuk ke ruangan di mana Jokowi telah menunggu dia melalui pintu masuk yang tidak biasa.
Agus Rahardjo menggambarkan suasana hati Jokowi sedang tidak baik. Saking tidak baiknya, belum apa-apa Jokowi menyambut kedatangan Agus dengan meneriakan kata “hentikan”.
Awalnya Agus tidak tahu apa yang dimaksud Jokowi dengan kata “hentikan” itu. Setelah ia duduk dan menyimak dengan baik, barulah ia paham bahwa Jokowi ingin dia menghentikan pengusutan kasus E-KTP yang sudah masih tahap penyidikan dan menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka.
Agus juga menggambarkan Jokowi tidak mengerti prosedur yang berlaku di KPK terkait pengusutan satu perkara. Dalam pertemuan itu, katanya, Jokowi sempat bertanya ke Mensesneg Pratikno mengenai hal ini.
Adapun Agus selanjutnya meninggalkan istana.
Dalam wawancara, dia mengatakan, tidak lama setelah itu pemerintah mengubah UU 30/2002 tentang KPK. Di dalam UU baru, UU 19/2019 tentang KPK, dimasukkanlah aturan mengenai SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Apa-apa yang disampaikan Agus di atas telah dikomentari oleh berbagai pihak, termasuk yang meluruskan.
Pihak Istana membantah pertemuan terjadi, karena tidak ada di dalam jadwal kegiatan Presiden Jokowi. Terkait substansi, dikatakan bahwa Jokowi tidak pernah meminta Agus menghentikan penyidikan. Bahkan, di tanggal 17 November 2019 Jokowi meminta Agus mengikuti proses hukum.
Adapun soal perubahan UU KPK, termasuk di dalamnya menambahkan mekanisme SP3, juga diluruskan. Pihak Istana mengatakan, perubahan UU KPK adalah inisiatif DPR RI.
Dalam wawancara yang dipandu Rosiana Silalahi itu, Agus Rahardjo tampak sebagai pahlawan dan bahkan orang paling benar dalam proses pemberantasan korupsi di tanah air.
Di sisi lain, Agus juga memanfaatkan wawancara itu untuk memojokkan Ketua KPK (non aktif) Firli Bahuri yang ketika itu adalah Deputi Penindakan KPK (2018-2019). Saat ini Firli sedang menghadapi serangan dari kelompok bahkan jaringan yang disinyalir memiliki kaitan dengan kasus-kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi.
Dia menyebut kembali kasus-kasus klasik yang kerap dikaitkan dengan Firli, yaitu soal pertemuan Firli dengan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Bahrullah Akbar dan Gubernur Nusa Tenggara Barat M. Zainul Majdi yang kerap disapa Tuan Guru Bajang (TGB).
Agus tidak menjelaskan konteks pertemuan-pertemuan itu, dan penjelasan-penjelasan yang telah disampaikan Firli dalam berbagai kesempatan, terutama saat Firli mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebagai pimpinan KPK RI di hadapan Komisi III DPR RI, 12 September 2019.
Karena di dalam wawancara tidak menjelaskan secara utuh pertemuan Firli Bahuri dengan Bahrullah Akbar dan TGB, maka semakin bertambahlah opini publik yang memberatkan Firli Bahuri di tengah serangan yang dihadapinya.
Padahal kepada anggota Komisi III DPR RI yang mengujinya di bulan September 2019 itu, Firli telah menjelaskan secara utuh konteks pertemuan dirinya baik dengan Bahrullah Akbar maupun dengan TGB.
Untuk pertemuan dengan Bahrullah Akbar, kata Firli, dirinya menjemput di lobi karena diminta oleh auditor utama Nyoman Wara. Dia lalu membawa Bahrullah Akbar ke ruang kerjanya di lantai 12. Tetapi tidak menutup pintu agar dapat didengarkan oleh stafnya.
Firli juga meminta stafnya untuk mencari tahu penyidik mana yang akan memeriksa Bahrullah Akbar. Sekitar lima menit kemudian penyidik KPK pun datang untuk membawa Bahrullah Akbar ke ruang pemeriksaan.
Adapun pertemuan dengan TGB terjadi karena Firli Bahuri yang pernah menjadi Kapolda NTB (2017-2018) memenuhi undangan Danrem 162/Wira Bhakti untuk menghadiri turnamen tenis. Adapun TGB hadir ketika Firli sedang bermain tenis.
Agus Sosok Bersih?
Cerita yang disampaikan Agus Rahardjo dalam wawancara di Kompas TV mau tidak mau akan mendorong orang yang sungguh-sungguh peduli dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi, membuka-buka kembali catatan lama.
Terutama catatan mengenai sepak terjang Agus Rahardjo saat memimpin lembaga anti rasuah ini.
Informasi yang pernah diperoleh mengatakan bahwa Agus Rahardjo memiliki persoalan yang jauh lebih serius dari sekadar menjemput tamu di lobi gedung KPK dan memenuhi undangan turnamen tenis dari pimpinan TNI di satu wilayah.
Agus misalnya pernah secara serampangan dan sendiri menandatangani surat penyidikan kasus pengadaan 26 kapal di Ditjen Bea Sukai dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Surat penyidikan ditandatangani Agus sendirian, tidak melibatkan pimpinan KPK lainnya. Bahkan kasus itu pun tidak diusut melalui prosedur yang semestinya. Deputi Penindakan KPK pun tidak tahu.
Kasus lain yang juga memperlihatkan kelemahan Agus Rahardjo dalam penanganan kasus korupsi adalah dalam kasus mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir dan PLTU Riau-1.
Kasus ini dinilai tidak memenuhi unsur untuk ditingkatkan menjadi penyidikan dan apalagi penuntutan sebab hanya mengandalkan kesaksian Wakil Ketua Komisi VII Eni M. Saragih.
Untuk kasus ini Agus Rahardjo mengabaikan satu prinsip penting dalam penegakan hukum yakni unus testis nullus testis yang artinya, keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain tidak memiliki kekuatan dalam pembuktian.
Singkatnya, memperhatikan dan mencermati hal-hal yang disampaikan Agus Rahardjo di Kompas TV seperti melihat seseorang yang sedang menepuk air di dulang, dan wajahnya pun terpercik sendiri.