Di Indonesia pembicaraan soal Israel dapat memantik emosi. Ini bisa terjadi tentu berkaitan dengan perlakukan negara tersebut kepada Palestina sejak tahun 1948.
Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, wajar apabila masyarakat bereaksi keras terhadap eskalasi konflik di sana.
Meski ada kecenderungan demikian, rupanya tak semua orang bersikap sama. Salah satunya adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden RI ke-4 dan tokoh Islam Indonesia.
Dalam konflik Israel-Palestina, Gus Dur memang tokoh anti-mainstream. Sejauh ini, dia menjadi pejabat tinggi negara satu-satunya di Indonesia yang mendorong negara buat menjalin hubungan dengan Israel.
Alasannya, mengutip paparan dalam Damai bersama Gus Dur (2010), supaya posisi tawar Indonesia di Timur Tengah bisa meningkat.
Jika ini terjadi, maka Gus Dur percaya Indonesia bisa berperan lebih aktif dalam mewujudkan perdamaian konflik antara Israel-Palestina.
Ihwal Israel dan Yahudi, Gus Dur juga punya pengalaman berbeda dan menarik. Pengalaman ini diperolehnya saat berkuliah di Baghdad, Irak, pada akhir 1960-an. Kala itu, Gus Dur punya teman seorang Yahudi bernama Ramin.
Ramin sosok yang pintar. Menurut Nur Kholik dalam Interkoneksi Islam Liberal dan Pendidikan Islam Abdurrahman Wahid (2021), Ramin banyak membaca buku dan menjadi rekan diskusi Gus Dur.
Terlebih, Ramin juga bekerja sebagai jurnalis yang memiliki pengetahuan lebih luas dibanding Gus Dur.
Selama berdiskusi itu, rupanya Gus Dur diam-diam mendalami pemikiran Ramin soal garis politik, budaya dan ekonomi Yahudi.
Gus Dur juga penasaran: kenapa Yahudi bisa memengaruhi elite Amerika hingga masa kini? Kenapa Yahudi bisa sangat militan dan kuat solidaritasnya hingga menguasai dunia?
Beranjak dari rasa penasaran inilah, Gus Dur melihat Yahudi sebagai kekuatan besar yang patut dipertimbangkan.
"Kita mesti belajar dari semangat orang-orang Yahudi," kata Gus Dur, sebagaimana ditirukan sahabatnya Mahfudz Ridwan, dikutip dari Satu Jam Lebih Dekat (2010).
Tak cuma berupa imbauan saja, Gus Dur juga punya niat mengirimkan sarjana Indonesia untuk belajar di Israel.
Tujuannya agar bisa mempelajari tata pemerintahan, politik, ekonomi, dan pertanian Yahudi yang jauh lebih maju dibanding Indonesia.
Tentu saja, imbauan dan niatan itu diutarakan Gus Dur secara sadar. Dia mengetahui bahwa itu semua bakal sulit diterapkan dan pasti menuai protes. Dan kita semua mengetahui kalau niatan itu memang tak pernah terwujud, sekalipun Gus Dur sempat menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Kesuksesan Yahudi
Perlu diketahui, rasa penasaran Gus Dur itu nampaknya juga memang dirasakan oleh banyak orang. Pasalnya, orang Yahudi dikenal memiliki banyak pencapaian positif sepanjang sejarah dunia.
Selama abad ke-20, misalkan, orang Yahudi di Barat sukses menjadi tokoh intelektual dan menempati kelas tertinggi ekonomi. Lalu tak sedikit dari mereka yang sukses meraih penghargaan tertinggi ilmu pengetahuan, yakni Nobel.
Dalam kurun 1901-1962 saja, 16% pemenang Nobel sains adalah orang atau keturunan Yahudi. Sebut saja fisikawan tersohor keturunan Yahudi Albert Einstein peraih Nobel fisika tahun 1921.
Bahkan mengacu riset "Jewish Educational and Economic Success in the United States" (2007), Paul Burstein secara spesifik menuliskan di Amerika Serikat, bangsa Yahudi tercatat lebih sukses secara ekonomi dan pendidikan dibanding kelompok bangsa dan ras lain.