Pengajar dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. dr. Adi Utarini, telah menorehkan prestasi yang membanggakan bagi Indonesia. Penelitiannya Itu berhasil menurunkan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Yogyakarta sebesar 77% dengan menggunakan metode nyamuk wolbachia.
Penelitian Adi Utarini telah mendapatkan perhatian dunia. Ia dinobatkan sebagai salah satu dari 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Time pada tahun 2021.
Adi Utarini lahir di Yogyakarta pada tahun 1965. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana dan magisternya di UGM, kemudian melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Queensland, Australia.
Adi Utarini yang akrab disapa Uut mulai tertarik dengan penelitian nyamuk wolbachia sejak tahun 2009. Ia bersama timnya melakukan penelitian di Kota Yogyakarta untuk menguji efektivitas metode nyamuk wolbachia dalam mengendalikan DBD.
Dia mengungkapkan bahwa nyamuk wolbachia adalah solusi yang menjanjikan untuk mengendalikan DBD. Ia berharap bahwa metode ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia untuk membantu mengatasi masalah DBD.
Dipuji Melinda Gates
Capaian Dr. Adi Utarini ini mendapat perhatian tersendiri dari miliarder dan filantropis Melinda French Gates, mantan istri Bill Gates.
Melalui akun Instagramnya, Melinda French Gates, menyebut Dr. Adi Utarini adalah sosok yang menginspirasi.
Melinda French juga berharap banyak orang akan terinspirasi oleh Dr. Adi Utarini, sebagaimana dirinya terinspirasi atas upaya-upaya peneliti asal Yogyakarta ini.
"Saya sangat bangga menulis mengenai karya Dr. Utarini untuk #Time100 tahun ini. Saya harap Anda menemukannya sebagai inspirasi sebagaimana saya," katanya dalam unggahan Instagramnya di akun @melindafrenchgates.
Tanggapan Tudingan Wolbachia Berbahaya
Metode wolbachia ditentang oleh sejumlah kalangan karena dikhawatirkan berbahaya. Salah satu kekhawatiran tersebut adalah bahwa wolbachia dapat memunculkan penyakit baru seperti Japanese Encephalitis (JE).
Menanggapi tudingan tersebut, Adi Utarini menegaskan bahwa wolbachia bukanlah hasil rekayasa genetika sehingga tidak berbahaya. Bakteri wolbachia maupun nyamuk sebagai inangnya bukanlah organisme hasil dari modifikasi genetik yang dilakukan di laboratorium.
Selain membantah teknologi Wolbachia menyebabkan JE ia juga menuturkan teknologi itu tidak terkait dengan kejadian filariasis atau penyakit kaki gajah.
"Wolbachia yang ada pada cacing yang menyebabkan filariasis itu berbeda jenisnya dengan Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Jadi Wolbachia ini bukan hanya satu jenis, tetapi ada ribuan jenis," tutur dia dalam diskusi media bertema "Mengenal Wolbachia dan Fungsinya untuk Mencegah Demam Berdarah" secara daring, Senin (20/11/2023).
Ia menambahkan, bakteri wolbachia hanya dapat hidup di dalam tubuh serangga, termasuk nyamuk. Bakteri wolbachia pun tidak bisa bertahan lama di luar sel tubuh serangga, serta tidak bisa mereplikasi diri tanpa bantuan serangga inangnya. Wolbachia juga telah ditemukan secara alami dalam tubuh nyamuk Aedes albopictus.
Harapan Baru untuk Indonesia
Penelitian Uut telah memberikan harapan baru untuk Indonesia dalam mengatasi masalah DBD. Metode wolbachia memiliki potensi untuk menjadi solusi yang efektif dan berkelanjutan untuk mengendalikan DBD.
Jika metode ini dapat diterapkan di seluruh Indonesia, maka diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD secara signifikan. Hal ini akan memberikan manfaat yang besar bagi kesehatan masyarakat Indonesia.