Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai pernyataan Ketua KPK yang menyebut menandatangani urat perintah pencarian dan penangkapan terhadap buronan korupsi Harun Masiku hanya pengalihan isu atas dugaan kasus pemerasanan terhadap Syahrul Yasin Limpo.
"Itu hanya pengalihan isu dari Pak Firli saja. Karena Harun Masiku itu kan sudah red notice, ngapain bikin surat penangkapan. Itu otomatis, kalau sudah tahu langsung tangkap saja. Tidak usah koar-koar begitu," kata Boyamin lewat keterangannya yang diterima Suara.com, Rabu (15/11/2023).
Dia menilai Filri hanya memproduksi retorika dan narasi, namun, minim melakukan pekerjaan.
"Dan itu adalah keahlian Pak Firli. Kerja tidak ada tapi bikin masalah, bikin dugaan pelanggaran etik mulai dulu sejak awal jabat, (menggunakan fasilitas mewah) helikopter dan sampai sekarang. Dan hanya narasi-naras retorika begitu. Kerja yang tidak ada sesuatu yang mempesona," tegas Boyamin.
Menurutnya yang harus diumumkan Firli adalah penangkapan Harun Masiku.
"Bukan pengumuman surat penangkapan. Kalau begitu saja Direktur juga cukup enggak usah pimpinan KPK," ujarnya.
Klaim Teken Pencarian DPO Harin Masiku
Diberitakan sebelumnya, Filri menyebut telah menandatangani surat perintah pencarian dan penangkapan Harun Masiku.
"Tiga minggu lalu saya menandatangani surat perintah penangkapan dan pencarian terhadap HM (Harun Masiku)" kata Filri.
Dia mengatakan KPK masih terus melakukan pencarian terhadap Harun Masiku. Beberapa waktu lalu disebutnya KPK sudah sempat berangkat ke suatu negara untuk menemukan Harun Masiku.
"HM (Harun Masiku) kita masih terus melakukan pencarian, beberapa waktu yang lalu Plt Deputi Penindakan (Asep Guntur Rahayu) menyampaikan berangkat ke negara tetangga tapi lagi-lagi belum berhasil melakukan penangkapan walaupun informasi sudah cukup kuat," kata Firli.
3 Tahun Buron
Terhitung Harun Masiku telah buron kurang lebih tiga tahun setelah ditetapkan sebagai tersangka penyuap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan pada Januari 2020.
Suap itu dilakukannya untuk lolos ke DPR RI melalui pergantian antar waktu (PAW).
Pada kasus ini, KPK menetapkan 4 orang tersangka. Wahyu Setiawan selaku penerima suap telah divonis penjara selama 7 tahun dan denda Rp 200 juta.
Sementara Saeful Bahri dan Agustiani sebagai perantara juga telah divonis. Saeful Bahri dipidana satu tahun delapan bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider empat bulan kurungan. Sedangkan Agustiani empat tahun penjara dan denda Rp 150 juta, subsider empat bulan kurungan.