Kriminalisasi dan intimidasi mulai marak menyerang aktivis, mahasiswa, dan politikus yang berseberangan dengan pemerintah Joko Widodo (Jokowi).
Teranyar, keluarga Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Melki Sedek Huang di Pontianak, Kalimantan Barat, dilaporkan mendapat intimidasi dari aparat.
Intimidasi itu diduga terkait aktivisme politik Melki di kampus. Melki dikenal lantang memprotes skandal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi cawapres Prabowo Subianto. Sebelum putusan itu, Gibran tak memenuhi syarat sebagai cawapres lantaran terlampau muda.
Masih terkait pemilu, jurnalis nonaktif Aiman Witcaksono belum lama ini dilaporkan oleh Juru Bicara Aliansi Elemen Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, Fikri Fakhrudin ke Polda Metro Jaya.
Aiman dipolisikan lantaran menyebar informasi mengenai beberapa komandan Polri yang diduga memenangkan pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.
Beberapa hari lalu, politikus PDI-Perjuangan Adian Napitupulu dan Sekjen PDI-P Hasto Kristianto juga dilaporkan ke polisi. Keduanya dituding mencemarkan nama baik Jokowi lantaran kerap mengaitkan Presiden dengan skandal putusan MK.
Pengamat politik dari Universitas Krisnadwipayana Ade Reza Hariyadi menilai kriminalisasi dan intimidasi terhadap kalangan aktivis dan mahasiswa yang tak boleh dibiarkan. Jelang Pemilu 2024, ia khawatir aparat penegak hukum kian sewenang-wenang membungkam para pengkritik.
“Sepanjang terkait penggunaan hak konstitusional warga negara untuk menyatakan pendapat, sekalipun dalam bentuk kritik terhadap pemerintah, tentu harus dijamin dan dilindungi. Hal ini akan menjadi ujian bagi pemerintah atas komitmennya terhadap demokrasi dan pemajuan hak-hak sipil politik,” kata Ade kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Ade, publik punya hak untuk menyuarakan kritik dan mengawasi penyelenggaraan pemilu. Apalagi, saat ini muncul beragam laporan di media massa yang mengindikasikan adanya kecurangan dan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN).
“Persaingan elektoral saat ini melibatkan figur-figur dalam pemerintahan. Tentu saja tidak boleh menggunakan alat-alat kekuasaan untuk kepentingan elektoral bagi pihak tertentu. Apalagi, jika dimaksudkan untuk merepresi sikap kritis yang merupakan perwujudan kontrol publik dan check and balances,” kata Ade.
Lebih lanjut, Ade meminta Jokowi bersikap tegas dan menginstruksikan aparat penegak hukum di lapangan untuk menghentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis dan mahasiswa.
Jika itu tidak dilakukan, menurut Ade, patut dicurigai Jokowi sedang membangun rezim otoritariter seperti pada masa Orde Baru.
“Fenomena kasus yang disebut di atas, bisa menjadi semacam sinyal bahwa ada tantangan berat atas komitmen kita dalam berdemokrasi. Jika ini tidak segera diwaspadai, dapat menjadi potensi kita setback (mundur) ke masa lalu,” kata Ade.
Di luar pemilu, saat ini dua aktivis hak asasi manusia (HAM), Haris Azhar dan Fatia Maulidyanti terancam dibui hingga 4 tahun.
Haris dan Fatia dianggap mencemarkan nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan karena mengkritik kepentingan bisnis Luhut di Papua. Kasus keduanya sedang disidangkan.
Sebelumnya, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani sepakat tindakan represif aparat penegak hukum atau kelompok masyarakat terhadap kritikus rezim Jokowi tak boleh dibiarkan. Ia meminta publik melapor bila mendapat tindakan represif dan intimidatif dari siapa pun.
“Saya rasa kalau ada hal-hal yang terkait dengan warga atau orang yang merasa bahwa itu dari aparat keamanan yang (represif dan intimidatif) dilaporkan saja secara kita punya mekanisme hukum yang ada,” kata Jaleswari.
Jaleswari paham jika publik ogah melapor ke polisi saat pemilu lantaran ada dugaan aparat keamanan bakal tak netral. Namun, ia menyebut laporan-laporan itu penting untuk memagari aparat supaya tak sewenang-wenang.
“Dengan melapor, paling tidak perbuatan itu terekspose ke publik,” kata dia.