DKI Jakarta sebagai salah satu megacity di dunia telah mengalami perubahan yang sangat masif dalam 10 tahun terakhir.
Sebagai kota terbesar di Asia Tenggara, Jakarta memiliki permasalahan kompleks mulai dari banjir, kemiskinan, kriminalitas, kemacetan, dan lainnya.
Dalam perkembangannya, kini Jakarta bisa menjadi kota yang lebih baik yang dapat dijadikan sebuah momentum bagi masyarakat untuk mendorong Pemprov DKI terus melakukan berbagai perbaikan setiap aspek.
Sebagai kota besar, transformasi Jakarta tentu tidak mudah karena membutuhkan kepemimpinan yang memiliki visi untuk memperbaiki ibu kota. Setiap gubernur DKI memiliki kontribusi dalam transformasi Jakarta.
Prof. Sulfikar Amir, Pakar Sosiologi Perkotaan dari Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, menyampaikan bahwa Letjen TNI (Purn.) Sutiyoso, Gubernur DKI 1997-2007 memiliki kontribusi nyata dalam memicu transformasi Kota Jakarta dengan membangun bushway pada 2004. Padahal, saat itu Sutiyoso banyak mendapatkan cacian dan kritik.
“Akhirnya kita lihat sejak tahun 2004 Jakarta mulai memiliki sistem transportasi publik yang nyaman dan relatif murah,” tuturnya dalam diskusi ‘IDN Future Studium Generale 1.0: Menemukan Jalur Pembangunan yang Berkeadilan di Masa Depan Indonesia’ yang digelar oleh gerakan Bersama Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat 17 November 2023.
Kemudian Fauzi Bowo, Gubernur DKI periode 2007-2012. Sebagai seorang teknokrat, Fauzi Bowo memiliki karakter teknik yang kuat yang kemudian diimplementasikan dalam beberapa proyek di Jakarta.
“Masalahnya beliau membawa paradigma perkotaan yang using dimana paradigma perkotaan yang using itu berorientasi membangun perkotaan di Amerika Serikat dengan memprioritaskan pembangunan jalan untuk kendaraan pribadi kemudian proyek berskala besar dan sebagainya.”
Prof. Sulfikar menilai hal itu tidak bisa dilakukan di Jakarta yang begitu padat dan 60% warganya adalah kelompok penghasilan terbawah.
Kemudian, Joko Widodo (Jokowi), Gubernur DKI Jakarta 2012-2017, kemudian digantikan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (2014-2017).
Menurutnya, kepemimpinan Jokowi dan Ahok juga memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, bahkan sangat kontras pemimpin sebelumnya Fauzi Bowo. “Dan ini yang saya sebut sebagai project oriented leadership atau kepemimpinan yang berbasis kerja, kerja, kerja,” jelas Prof. Sulfikar.
Dia menuturkan, Jokowi memiliki gaya khas blusukan dan membawa perhatian cukup serius pada kesejahteraan sosial.
“Jadi, ada beberapa program yang dikerjakan kemudian ada juga pekerjaan pembangunan infrastruktur. Cuman sayangnya masa pemerintahan Pak Jokowi plus Pak Basuki masih menutup ruang yang besar untuk partisipasi publik sehingga program pembangunan datang dari balai kota saja.”
Selanjutnya, gaya kepemimpinan Anies Baswedan selama memimpin DKI Jakarta 2017-2022.
Prof. Sulfikar menjelaskan, terdapat pergeseran paradigma yang patut dicatat karena Anies membawa satu cara pandang yang berbeda di dalam mengelola kota.
“Saya bisa melihat disebabkan oleh epistemologi [keilmuan pribadi] dia yang berbeda. Karena Pak Anies Baswedan belajar ekonomi dan political science. Jadi, dia memiliki semacam wawasan ilmu sosial yang sangat komprehensif dan jadi apa yang dibawa oleh beliau ketika melakukan perombakan sistem tata kelola di Jakarta dimana orientasinya itu adalah kolaborasi,” katanya.
Dia menambahkan, kolaborasi menjadi framework Anies dalam melakukan transformasi dan akselerasi pembangunan di Jakarta selama 5 tahun.
Menurutnya, setidaknya ada 5 sektor di Jakarta yang ditata Anies Baswedan. Mulai dari transportasi publik, mitigasi bencana, penyedian air bersih, entrepreneurship, dan penataan permukiman.
“Saya ingin berbicara satu sektor dimana collaborative organism itu begitu erat menempel dalam proses pembangunan sistem transportasi publik di Jakarta. Modal transportasi di Jakarta ada begitu banyak dan mereka tidak terintegrasi satu sama lain.”
Program Jaklingko sebagai brand dari collaborative transportation dengan mengintegrasikan semua moda transportasi yang ada di ibu kota. Implementasi terobosan itu dengan cara kolaborasi.
Sistem transportasi publik Jakarta yang bernama JakLingko berfungsi sebagai platform yang mengintegrasikan moda transportasi.
Prof Sulfikar menjelaskan, ada 4 hal yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta sebagai fasilitator. 1) Memberi subsidi sebesar 1 triliun. 2) Digital platform JakLingko. 3) Regulasi rute transportasi publik. 4) Pengawasan dalam operasional.
“Dampaknya sangat signifikan. Kita lihat bahwa terjadi perluasan pengguna transportasi publik di Jakarta. Kemudian terjadi penurunan drastis tingkat kemacetan dan kemudian naiknya jumlah penumpang harian selama 3 tahun terakhir.”
Dia menilai, collaborative organism di Jakarta berfungsi dengan baik. Keberhasilan platform JakLingko sebagai sebuah moda transportasi yang terintegrasi, lanjutnya, bisa di terapkan di kota-kota lain.