PDI-P menunjukkan perbedaan sikap politiknya pada calon presiden (capres) nomor urut 1, Anies Baswedan dan koalisi pengusungnya, Koalisi Perubahan.
Pada pertengahan Oktober 2022, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyindir langkah Partai Nasdem yang mendeklarasikan Anies sebagai bakal calon presiden (bacapres).
Saat itu, ia menyatakan ada partai politik (parpol) berwarna biru yang lepas dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Nasdem merupakan parpol pengusung Jokowi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 serta masih berada di Kabinet Indonesia Maju sampai saat ini.
“Para pejuang kita kan ada bendera Belanda, birunya dilepas. Dan ternyata birunya juga terlepas kan dari pemerintahan Pak Jokowi sekarang, karena punya calon presiden sendiri," ucap Hasto di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, 9 Oktober 2022.
Namun, sikap Hasto berubah setelah sejumlah elite PDI-P menganggap sikap Jokowi tak sejalan lagi dengan parpolnya itu.
Jokowi dianggap memilih jalan sendiri setelah merestui putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Situasi diperparah dengan dugaan adanya intervensi kekuasaan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi batas usia capres-cawapres sehingga menjadi jalan untuk Gibran melenggang ke Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Belakangan, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan ada serangkaian pelanggaran etik para hakim konstitusi.
Sanksi terberat berupa pemberhentian sebagai Ketua MK dijatuhkan pada Anwar Usman, adik ipar Jokowi atau paman Gibran.
Bahkan, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P Komarudin Watubun menyatakan Jokowi tak memberikan dukungan pada Ganjar.
“Saya itu, bukan periode kedua (Jokowi) tidak terlalu merasa (ada perbedaan) juga. Merasa (ada perbedaan) itu yang terakhir (Jokowi) tidak mendukung Ganjar itu yang saya tidak habis pikir," kata Komarudin dalam tayangan Gaspol! Kompas.com, dikutip Kamis (9/11/2023).
Mengaku dapat tekanan
Sementara itu, Hasto kini mengeklaim telah membuka komunikasi dengan tim Anies dan cawapresnya, Muhaimin Iskandar.
Alasannya, ia merasa Tim Kampanye Nasional (TKN) Ganjar-Mahfud MD telah mendapatkan tekanan dari kekuasaan. Nasib serupa pun dianggapnya terjadi pada kubu Anies-Muhaimin.
"Oh, ya cukup banyak (tekanan yang muncul). Kan juga ada kan itu sama, kita menyepakati dengan AMIN juga, penggunaan suatu instrumen hukum, penggunaan instrumen kekuasaan. Dalam konteks ini, kami juga membangun komunikasi dengan AMIN, karena merasakan hal yang sama," sebut Hasto di Jakarta Pusat, Sabtu (18/11/2023).
Ia memaparkan, tekanan dari instrumen hukum dan kekuasaan terjadi atas beberapa hal. Pertama, pencopotan baliho Ganjar-Mahfud MD di sejumlah wilayah Tanah Air.
Kedua, dugaan intimidasi terhadap Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya yang memotret fakta elektabilitas Ganjar-Mahfud meninggi.
Tiga, dugaan tekanan juga dialami oleh pegiat media sosial Ulin Ni'am Yusron dan politikus PDI-P Adian Napitupulu.
Hasto lantas meminta para kader banteng tetap tenang dan tak terintimidasi oleh semua persoalan yang terjadi.
“Ajakan dari Pak Arsjad untuk semua cool, semua menanggapi dengan menderaskan suatu semangat bahwa Pak Ganjar-Pak Mahfud ini yang terbaik. Maka kemudian kami minta semua untuk taat dengan hukum," tutur dia.
Kubu Anies tampik komunikasi
Sementara itu, Anies maupun Muhaimin membantah ada komunikasi yang terajut dengan kubu Ganjar-Mahfud MD.
Meski begitu, Anies tak menampik adanya tekanan politik yang dirasakan oleh koalisinya.
“Kalau saya tidak ada (komunikasi) ya,” ucap Anies di kawasan Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (19/11/2023).
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Muhaimin. Meskipun, ia mengaku tak ingin menutup silaturahmi dengan semua kontestan Pilpres 2024.
“Pokoknya sebagai sesama jangan memutus silaturahmi kepada semua kandidat, jangan memutus silaturahmi, jangan memutus tali persahabatan," sebut Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Nasdem Hermawi Taslim meminta PDI-P tidak bersikap cengeng menghadapi berbagai persoalan jelang pemilu mendatang.
“Kami merasa tidak pernah dan tidak perlu menggandeng paslon manapun dalam pilpres, lagian UU (Undang-Undang) kan tidak memberi peluang untuk urusan gandeng- menggandeng," kata Hermawi.
"Sebaiknya, kami anjurkan marilah kita membangun kemandirian, jangan cengeng, dikit-dikit ngeluh, katanya kuat, katanya mau menang, kok dikit-dikit ngeluh, ngeluh kok dikit-dikit," kata dia.
Kemudian, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyatakan tak pernah merasa mendapatkan tekanan dari aparat negara.
Baginya, tekanan pada Anies justru didapatkan dari kepala daerah yang merupakan bagian parpol tertentu.
Ia juga menekankan, sampai tahap ini tak pernah berkomunikasi dengan Hasto soal tekanan dari kekuasaan.
"Ketika kita bicara tentang tekanan, kita secara jujur harus mengatakan bahwa Nasdem selama mendampingi Mas Anies setahun lebih berkeliling, kita tidak pernah diperlakukan diskriminatif oleh kepolisian, atau katakanlah institusi negara ya. Justru kami mendapat perlakuan yang sulit itu di daerah-daerah yang kami datangi yang kebetulan kepala daerahnya dari partai tertentu," papar Ali.