Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli (Hasil Permufakatan Pendiri Bangsa Indonesia) disingkat G-45, baru-baru ini muncul dan menjadi perhatian banyak pihak di Indonesia.
G-45 tersebut menegaskan, bahwa kembali ke UUD (Undang-Undang Dasar) Tahun 1945 asli, sangatlah penting dan mendesak karena beberapa alasan, yakni: Kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini sejak diterapkannya UUD 2002 (ditinggalkannya UUD 1945 Asli) sudah sangat fatal dan berbahaya. Hal ini dapat disaksikan dan dirasakan oleh sebagian rakyat dalam berbagai bidang.
Kemudian, menurut para penggerak G-45, bahwa dalam bidang ekonomi, kehidupan rakyat semakin berat, angka pengangguran meningkat, dan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin semakin tersekat. Ditambah lagi, harga bahan-bahan pokok tak terkendalikan. Negara yang kaya ini sudah lama mengimpor beras, gula, bahkan garam.
Lebih jelasnya lagi, hal itu katanya; semua disebabkan oleh sistem ekonomi liberal yang dibuka peluang besar oleh UUD 2002 dan diterapkan oleh pemerintah.
Akibatnya, aset nasional dikuasai oleh segelintir orang yang disebut Kaum Olighar. Sementara, rakyat kebanyakan tidak menikmati kekayaan negara dan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Celakanya lagi, segelintir orang kaya itu (Kaum Olighar) bersekongkol dengan penguasa yang sebagian terlibat tindak pidana korupsi.
Menurut G-45, kenyataan tersebut membawa malapetaka bagi bangsa, ketika mereka merekayasa dan mengendalikan politik nasional untuk berkuasa atau melanggengkan kekuasaan dengan menempuh berbagai cara.
Pengaruh Terhadap Politik Indonesia
Sistem kepartaian, sistem Pemilu (Pemilihan Umum), dan sistem Pilpres (Pemilihan Presiden), yang diatur berdasarkan UUD 2002, telah menciptakan dan melanggengkan kerusakan kehidupan bangsa dan negara. Kedaulatan rakyat yang dijunjung tinggi oleh Pancasila dan UUD 1945 telah dikhianati dan dirusak oleh demokrasi liberal yang bertentangan secara diametral dengan Demokrasi Pancasila (Sila Keempat Pancasila). Kedaulatan rakyat telah beralih ke kedaulatan partai, dan kedaulatan partai dikuasai oleh kelompok kecil dalam partai.
Maka, hal itulah yang menyebabkan wakil rakyat ditentukan oleh elit partai, dan keterpilihan mereka dipengaruhi oleh para pengusaha yang menyebarkan budaya politik uang sehingga berkembanglah istilah; Nomor Piro Wani Piro atau disebut dengan istilah NPWP. Pemilu, bahkan Pilpres disinyalir akan dipengaruhi dan dirusak oleh Kaum Olighar ekonomi dan politik.
Cekakanya lagi, akibat Sistem Politik yang dibangun oleh UUD 2002, pemangku amanat rakyat atau penguasa terdorong untuk memonopoli kekuasaan, dan menyalahgunaan kekuasaan untuk hasrat berkuasa atau melanggengkan kekuasaan.
Alhasil, etika dan moral politik terabaikan. Praktek korupsi, yang patut diduga merajelala di sekitar pusat kekuasaan, ingin dipertahankan dengan kekuasaan lanjutan.
Parahnya lagi, persekongkolan jahat menjelma. Lembaga-lembaga negara lumpuh tak berdaya. Tiga pilar utama negara, yakni lembaga legislatif-lembaga eksekutif-lembaga yudikatif, tidak berfungsi mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ironinya lagi, bahkan terakhir; secara kasat mata didepan rakyat; rekayasa hukum oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya menjadi pengawal terakhir konstitusi berlangsung mulus mengubah undang-undang. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya kehidupan bangsa dan negara jika ada pemimpin terpilih atas dasar kecurangan dan pengkhianatan konstitusi.
Jadi, itu semua berpangkal pada dihilangkannya fungsi dan peran MPR yang menurut UUD 1945 asli sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang memilih, mengontrol dan memberhentikan Presiden-Wakil Presiden Republik Indonesia, serta menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Kerugian Besar Lainnya
Maka, sebuah kerugian besar bagi bangsa, jika perkembangan dalam bidang ekonomi dan politik telah mempengaruhi kehidupan bangsa dalam bidang budaya, apalagi jika budaya baru ini pada giliran berikutnya mendorong kerusakan politik dan ekonomi lebih lanjut.
Bangsa Indonesia yang terkenal dengan budaya luhur berdasarkan nilai-nilai agama dan kearifan lokal sebagai bangsa yang ramah tamah, gandrung bergotong royong, pejuang, dengan mengedepankan nilai-nilai keikhlasan (dalam istilah sepi ing pamrih rame ing gawe), kini menjadi bangsa yang mengagungkan gaya hidup duniawi yang bersifat individualistik, materialistik, dan hedonistik. Di kalangan sebagian generasi muda berkembang budaya apatis dan permisif terhadap kebaikan dan perubahan.
Budaya semacam itu mendorong lingkaran setan keburukan dan kerusakan dengan sistem ekonomi dan politik yang tidak membuka jalan bagi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi liberal gagal menjadi sarana kesejahteraan, justeru mendorong kebebasan untuk persaingan tidak sehat.
Makin Parah: UUD 2002 Merusak Cita-Cita Luhur Bangsa
Tentu banyak lagi fakta dari kenyataan kehidupan bangsa dan negara yang buruk, sebagai akibat penerapan UUD 2002 yang dapat diungkapkan. Namun yang jelas, perwujudan cita-cita nasional yakni Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa menjadi jauh panggang dari api.
Persisnya, menjelang Peringatan 100 Tahun Kemerdekaan pada 2045 nanti, mimpi Indonesia Emas, dapat berubah menjadi Indonesia Nahas. Puncak Amanah Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia terselewengkan oleh kenyataan berkembangnya kekayaan oleh segelintir orang yang berkacak pinggang atas kemiskinan penderitaan orang banyak.
Solusi: UUD 1945
Maka, Kembali ke UUD 1945 asli adalah solusi. Gerakan itu bukanlah memutar arah jarum sejarah ke masa lalu, tapi adalah menemukan kembali mutiara bangsa untuk menghadapi masa mendatang. Gerakan ini adalah kembali ke khittah kebangsaan yang telah disepakati oleh para negarawan pendiri bangsa.
Dengan Kembali ke UUD 1945 diharapkan akan diterapkannya Demokrasi berdasarkan Sila Keempat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan), yang menekankan musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan.
Sistem dan budaya politik yang menampilkan kebersamaan itu adalah jalan bagi perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus berkembang seiring sejalan, hal mana diyakini akan mewujudkan Persatuan Indonesia yang sejati. Inilah modal dasar bangsa dalam menghadapi dinamika dan tantangan dunia baru dewasa ini.
G-45 tersebut dihadiri oleh beberapa tokoh hebat Indonesia dan diadakan di Hotel Sotis Pejompongan Jln Penjernihan Bendungan Hilir, DKI Jakarta, Jum’at (17/11/2023) siang tadi, dengan mengangkat tema; Kembalikan Bangsa dan Negara ke Khittahnya!. Presidium G-45 yang nama-namanya berhasil diperoleh Persada Post adalah: Adian Radiatus, Anthony Budiawan, Daniel Rosyid, Edwin Soekowati, Gus Aam, Heppy Trenggono, Laode Kamaluddin, M.Din Syamsuddin, M.Hatta Taliwang, Muhsin Ahmad Alatthas, Nurhayati Assegaf, Pontjo Sutowo, Sayuti Asyathri, Siti Fadillah Soepari, Suharto, Tifauzia Tyassumma dan Tony Hasyim.