Bau sangit pelibatan jaringan haram para pejabat, aparat sipil negara (ASN) dan penegak hukum sudah merebak jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Perilaku ini tercium hingga ke daerah-daerah. Ini berarti netralitas hanya jargon kosong tanpa makna?
Di setiap pemilu, netralitas selalu menjadi sorotan. Meskipun jelas-jelas aturan dengan tegas menyebutkan keharusan netralitas bagi pelayan rakyat dari mulai presiden sampai ke tingkat bawah bahkan hingga ke pengurus RT/RW, namun masih saja ditemukan aparat dari pusat hingga ke daerah malah menjadi alat politik untuk kekuasaan.
Pada Pilpres kali ini pun, isu kecurangan dan ketidaknetralan terus menyeruak dan melebar sehingga menjadi sorotan publik. Dalam sepekan terakhir ini misalnya, isu kecurangan muncul dari pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Ia mewanti-wanti potensi kecurangan dalam proses pemilu kali ini.
"Rakyat jangan diintimidasi seperti dulu lagi. Jangan biarkan kecurangan pemilu yang akhir ini terlihat sudah mulai terlihat akan terjadi lagi," ujar Megawati di channel YouTube resmi PDIP, Senin (13/11/2023).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Mahfud MD, yang juga calon wakil presiden dari koalisi PDIP, telah menyuarakan adanya laporan mengenai kecurangan pemilu di Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara. Kecurangan itu berupa pemasangan dan penurunan baliho yang dilakukan oleh oknum aparat tertentu.
"Alat peraga sosialisasi capres-cawapres tertentu diturunkan oleh oknum Satpol PP. Ada juga laporan sejumlah oknum polisi yang mendatangi kantor parpol tertentu yang diduga sebagai tindakan intimidasi," kata Mahfud.
Pernyataan Mahfud ini menguatkan peristiwa sebelumnya yang juga diungkapkan elit PDIP di Bali yakni penurunan baliho pasangan capres-cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD, beberapa waktu lalu bersamaan dengan kedatangan Presiden Jokowi. Tak pelak, penurunan baliho ini menguatkan dugaan keberpihakan aparat dalam Pilpres 2024, terutama karena Jokowi dianggap berkepentingan mengingat putranya, Gibran Rakabuming Raka, ikut berlaga sebagai cawapres untuk Prabowo Subianto.
Tudingan seperti berbalas pantun kali ini diarahkan kepada PDIP. Beberapa hari lalu sempat beredar salinan pakta integritas dari Pj Bupati Sorong, Yan Piet Mosso. Terungkap, ia siap mencari dukungan dan memberikan kontribusi suara pada Pilpres 2023, minimal 60% + 1 untuk kemenangan capres yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo, di Kabupaten Sorong. “Pakta itu sudah ada sejak sebelum penetapan capres-cawapres,” kata Mahfud santai.
Kasus tuduhan ketidaknetralan yang cukup heboh adalah pernyataan juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono. Aiman, Jumat (10/11/2023) menyatakan bahwa ada oknum anggota polisi yang diminta komandannya untuk membantu memenangkan Prabowo-Gibran.
"Mereka keberatan karena diminta komandannya, enggak tahu komandan sampai di tingkat daerah atau tingkat pusat, tidak disebutkan, untuk mengarahkan atau membantu pemenangan dari pasangan Prabowo-Gibran," ungkap Aiman. "Ini firmed, ini tidak hanya satu, ada banyak yang kemudian memberikan informasi kepada saya," sambungnya.
Aiman juga mengungkapkan bahwa dirinya mendapat informasi Polres seluruh Indonesia meminta penyelenggara dan pengawas Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu untuk mengintegrasikan CCTV mereka dalam kualitas visual high definition (HD) lengkap dengan audionya dengan Polres setempat. Menurut Aiman, ketika gerak-gerik aktivitas penyelenggara dan pengawas Pemilu semua terdokumentasi dengan baik, maka bukan tidak mungkin ada arahan untuk memenangkan Prabowo-Gibran dari oknum Polri.
Tudingan Aiman ini jelas membuat banyak pihak gerah. Setidaknya enam aliansi melaporkan pernyataannya kepada Polda Metro Jaya. Pihak Ditkrimsus Polda Metro Jaya pun berencana memanggil Aiman untuk diperiksa. TPN Ganjar-Mahfud telah menyiapkan bantuan hukum bagi Aiman.
Yang paling merasakan aroma bau sangit ketidaknetralan dalam Pilpres 2024 kali ini adalah kubu AMIN. Masyarakat umum dapat melihatnya dengan kentara apa yang dialami pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN) ini hingga ke berbagai daerah. Beberapa kali, acara yang sudah disiapkan di berbagai kota bahkan acara di kampus dibatalkan karena tidak mendapat izin dari otoritas setempat dengan berbagai alasan.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid memberi beberapa contoh sikap tidak netral yang sudah terasa sejauh ini. Misalnya dalam pemasangan alat peraga. "Sudah mulai itu, apakah pasang baliho, pengadaan acara, bahkan kalau ada orang atau kyai yang mau ceramah," ucap Jazilul di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Sabtu (11/11/2023).
Kasus saling tuding kecurangan dan ketidaknetralan dalam pemilu ini dipastikan akan terus bergulir. Parlemen pun sudah mencium aroma busuk ketidaknetralan. Komisi I DPR telah membentuk panitia kerja pengawasan netralitas TNI. Sementara Fraksi PDIP juga mengusulkan Komisi III DPR segera membentuk Panja pengawasan netralitas Polri jelang Pemilu 2024.
Irisan Kepentingan Penguasa
Isu ketidaknetralan aparat pemerintah ini tak bisa lepas dari masih banyak pejabat atau sekelas menteri yang masih menduduki posisi pengurus partai atau menjadi penasehat tim pemenangan pasangan Pilpres. Bahkan dua menteri Kabinet Jokowi ikut kontestasi Pilpres yakni Capres Prabowo Subianto yang masih memegang kendali sebagai Menteri Pertahanan serta Cawapres Mahfud MD, belum melepaskan jabatannya sebagai Menkopolhukam.
Yang tak bisa lepas dari sorotan netralitas adalah posisi Presiden Joko Widodo yang juga ayah dari Cawapres Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto. Pencalonan Gibran sendiri masih menjadi kontroversi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman, sekaligus paman Gibran, dinilai penuh kejanggalan.
Jokowi sebenarnya sudah sejak awal menandaskan akan melakukan cawe-cawe dalam Pilpres. Tentu ini akan menimbulkan irisan kepentingan. "Pemilu 2024 akan diragukan berjalan secara netral dan imparsial, sebab diwarnai berbagai manuver politik penguasa untuk berpihak pada calon tertentu, seperti halnya politik cawe-cawe Presiden Joko Widodo," kata Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rabu (15/11/2023).
KontraS juga menyinggung terkait netralitas aparat, Aparatur Sipil Negara (ASN) hingga MK. Mereka menilai lembaga negara dan ASN sudah terlihat ada kecenderungan dimobilisasi. "Potensi ketidaknetralan pun dipertegas dengan penunjukan Pj (pejabat) Kepala Daerah yang jauh dari akuntabilitas publik, terlibatnya TNI-Polri, mobilisasi ASN hingga tidak netralnya MK," sebut KontraS.
Oleh sebab itu, mereka mendesak Jokowi dan jajarannya di pemerintahan bersikap netral pada Pemilu 2024. KontraS juga meminta Jokowi untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan. "Baik lewat pengerahan TNI, Polri, BIN (Badan Intelijen Negara) hingga ASN," ujarnya. Tak hanya untuk Jokowi, KontraS juga mendesak Polri dan TNI bisa bersikap netral. Aparat diharapkan tidak segan memberi sanksi bagi anggota yang terbukti melakukan pelanggaran dalam gelaran pemilu mendatang.
Yang harus diingat bahwa Jokowi masih memiliki kekuasaan struktural dengan menempatkan orang-orang pilihan di hampir semua instansi dan institusi. Kekuasaan struktural ini, yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019, masih terkoordinasi dengan baik. Bahkan sudah menempatkan Pelaksana Tugas (Plt) hingga ratusan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota jelang Pilpres 2024.
Karena itu pula, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari tak yakin Presiden Jokowi bisa profesional menyikapi kontestasi Pilpres 2024. Sebab, sang anak, Gibran telah mendaftarkan dirinya menjadi calon wakil presiden. “Mana ada ayah dan ibu profesional kepada anaknya, makanya kita kenal konflik kepentingan bagaimana pun akan ada ruang tertentu konflik kebatinan seorang ayah dan seorang ibu untuk bersikap tidak netral terhadap anaknya,” kata Feri dalam diskusi bertajuk ‘Menanti Netralitias Negara dan Mencegah Kecurangan Pemilu 2024’, Sabtu (18/11/2023)
Lebih lanjut, ia menilai bahwa Jokowi tidak akan bisa tidur nyenyak di rumahnya sendiri jika bersikap profesional kepada darah dagingnya sendiri. Ia menyebut dalam negara sebaiknya menghindari konflik kepentingan dan tidak boleh dibiarkan. “Sulit bagi presiden beranjak ke ruang yang lebih lebar,” tandasnya.
Melihat apa yang terjadi ini, masihkah publik bisa berharap pelaksanaan Pilpres sesuai jargon yang sering digembar-gemborkan yakni netral, jujur dan adil? Masihkah pula publik bisa berharap penyelesaian yang adil dari melaporkan kecurangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau MK?
Yang jelas, potensi kecurangan dan ketidaknetralan pada Pilpres 2024 sangat besar bahkan mungkin hal yang mustahil untuk dilawan. Netralitas, jujur dan adil sampai saat ini sepertinya masih berupa jargon kosong tanpa makna, baunya sudah sangit terasa.