Guru
Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengungkapkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) runtuh dengan mengabulkan syarat capres-cawapres berpengalaman kepala daerah.
Pasalnya ia menilai dengan MK mengabulkan syarat capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota telah membuat logika negara hukum berubah menjadi logika keluarga dinasti.
Baca Juga: Jalan Gibran Sampai Puncak Harus Mulus, Setelah PDIP dan MK Apa Lagi?
"Putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan soal syarat umur capres dan cawapres, dengan menambahkan klausul pernah/sedang menjadi kepala daerah adalah putusan yang meruntuhkan Mahkamah Konstitusi. Kewarasan logika negara hukum diubah menjadi logika keluarga dinasti," ungkapnya.
Lebih lanjut, Denny pun mengklaim putusan MK tersebut aneh bin ajaib, bahkan keanehannya diungkapkan melalui pendapat berbeda (dissenting opinion) 4 Hakim Konstitusi.
"Bagaimana anehnya putusan itu diungkapkan dengan sangat lugas oleh dissenting opinion Saldi Isra, Wahiddudin Adams, Suhartoyo dan Arief Hidayat. Ini memang keputusan aneh bin ajaib," ujarnya dikutip populis.id dari akun X pribadinya, Selasa (17/10).
Sebelumnya, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra mengungkapkan ada hakim KM yang terkesan terlalu bernafsu dalam memutuskan perkara permohonan uji materiel tentang batas usia capres-cawapres yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Dalam perkara tersebut, MK mengabulkan syarat capres-cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam peroses pembahasan di Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), Said mengatakan terdapat perdebatan di antara para hakim konstitusi lantaran belum ditemukan titik terang dalam perkara tersebut.
"Ketika pembahasan di RPH, titik temu (arsiran) termasuk masalah yang menyita waktu dan perdebatan. Karena perdebatan yang belum begitu terang terkait masalah amar tersebut, ada di antara Hakim Konstitusi mengusulkan agar pembahasan ditunda dan tidak perlu terburu-buru serta perlu dimatangkan kembali hingga Mahkamah, in casu lima Hakim yang berada dalam gerbong "mengabulkan sebagian", benar-benar yakin dengan pilihan amar putusannya," ujar Saldi saat menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang putusan di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10) dikutip dari CNN Indonesia.
Bagi hakim yang mengusulkan ditunda, kata Said, itu tidak akan menunda dan mengganggu tahapan penyelenggaraan Pilpres 2024, namun ada hakim konstitusi yang terkesan terlalu bernafsu untuk segera memutuskan perkara tersebut.
"Di antara sebagian hakim yang tergabung dalam gerbong 'mengabulkan sebagian' tersebut seperti tengah berpacu dengan tahapan pemilihan umum presiden dan wakil presiden, sehingga yang bersangkutan terus mendorong dan terkesan terlalu bernafsu untuk cepat-cepat memutus perkara a quo," terang Saldi tanpa menyebutkan nama hakim konstitusi yang dimaksud.
Untuk diketahui, selain Said, hakim lain yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) yaitu Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.