MENGGADAIKAN IKN DEMI INVESTASI
REVISI Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) dengan sengaja menabrak pakem perundang-undangan demi menarik investasi.
Jika tidak direvisi Mahkamah Konstitusi, perilaku ugal-ugalan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat ini bisa menjadi preseden pelanggaran hukum tata negara yang berbahaya.
Sidang paripurna DPR pada Selasa, 3 Oktober lalu, mengesahkan revisi UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN. Tujuh fraksi pro-pemerintah menyetujui pengesahan tersebut. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolaknya.
Sedangkan Fraksi Demokrat memberi catatan. Dalam perubahan UU IKN yang diajukan Presiden Joko Widodo, sebanyak 11 pasal diubah dan enam pasal baru ditambahkan.
Dari sederet perubahan itu, keberadaan satu pasal menarik perhatian. Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b dalam UU IKN terbaru menyatakan setiap undang-undang yang bertentangan dengan kebijakan pembangunan IKN dinyatakan tidak berlaku.
Pasal sapu jagat semacam itu tampaknya sengaja dibuat agar segala ketentuan dalam UU IKN hasil revisi menjadi legal, meski bertentangan dengan undang-undang lainnya.
Pengesahan Pasal 42 dalam revisi UU IKN menunjukkan politik hukum pemerintah yang mengarah pada autocratic legalism. Dalam sejumlah literatur hukum, setidaknya ada tiga ciri autocratic legalism.
Pertama, cenderung tidak melibatkan masyarakat dalam proses pembahasan regulasi. Kedua, pembentukan hukum justru melanggar prinsip hukum itu sendiri. Dan, ketiga, proses pembentukan hukum berjalan ugal-ugalan serta tak bisa dikontrol siapa pun.
Revisi UU IKN jelas berpotensi melanggar banyak regulasi lain yang sudah ada. Salah-satunya Pasal 16A yang mengatur jangka waktu hak atas tanah bagi investor di IKN. Pasal itu mengatur hak guna usaha (HGU) di ibu kota baru kelak akan berlaku hingga 190 tahun serta hak guna bangunan dan hak pakai selama 160 tahun.
Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria sebagai aturan payung yang mengatur hak guna usaha paling lama 60 tahun dan hak guna bangunan paling lama 50 tahun. Diduga kuat revisi aturan ini sengaja dibuat agar investor tertarik menanamkan uangnya di IKN.
Aturan istimewa bagi investor dalam hak atas tanah ini berbanding terbalik dengan perlakuan negara terhadap masyarakat adat. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, ada sekitar 51 masyarakat adat dengan populasi sekitar 20 ribu jiwa di lokasi IKN, yakni Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Seperti banyak masyarakat adat lainnya, puluhan suku ini tak memiliki bukti legalitas atas tempat tinggal atau lahan yang mereka kelola. Posisi yang lemah itu memudahkan pemerintah merelokasi mereka dengan ganti rugi minimal. Kalaupun mereka memiliki bukti legalitas, pemerintah bisa memaksa mereka melepas tanahnya karena status IKN sebagai proyek strategis nasional.
Ketentuan lain yang dilanggar UU IKN adalah Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dengan pasal sapu jagat, kewenangan khusus Otorita IKN diperkuat.
Menurut Pasal 12 UU IKN hasil revisi, Otorita IKN diberi kewenangan khusus atas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan pemerintah daerah khusus IKN.
Dengan kewenangan khusus itu, Otorita IKN bisa melakukan pinjaman ke luar negeri, memberi perizinan investasi, mengangkat pejabat dari non-pegawai negeri, dan menata ulang tanah tanpa harus berkonsultasi dengan lembaga representasi publik, seperti DPRD.
Kewenangan khusus Otorita IKN itu jelas terlalu besar dan berpotensi tidak bisa dikontrol. Kewenangan semacam itu juga tidak sesuai dengan prinsip demokrasi karena menghilangkan unsur pengawasan. Bahkan ibu kota saat ini pun–Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta–sudah memiliki DPRD. Pengawasannya pun menjadi jelas.
Revisi UU IKN yang menabrak sana-sini demi memanjakan investor jelas menambah panjang daftar kesalahan kebijakan dalam rencana pemindahan ibu kota negara. Tidak hanya karena desain dan perencanaan yang serampangan, biaya pembangunan IKN pun makin lama makin besar. Kini, pemerintah memperkirakan kebutuhan dana untuk pembangunan IKN mencapai Rp 466 triliun.
Sudah saatnya pemerintah tak berkukuh memaksakan pemindahan ibu kota yang justru menambah beban bagi anggaran pendapatan dan belanja negara. Efisiensi anggaran bisa dimulai dengan menggugat revisi UU IKN agar semua rencana pembiayaan di calon ibu kota baru bisa ditunda dulu.
Gugatan juga perlu dilayangkan pada pasal sapu jagat UU IKN agar tak menabrak banyak regulasi lainnya, hanya demi menarik investasi.