Saat ini konflik yang terjadi di Pulau Rempang semakin memanas, pihak masyarakat dan pemerintah saling bersinggungan. Mengetahui hal ini, Dedi Mulyadi angkat bicara.
Konflik di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau berawal dari rencana pembangunan Rempang Eko City.
Pembangunan Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang termasuk dalam Program Strategis Nasional tahun 2023 sesuai dengan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan dapat menarik investasi hingga Rp381 triliun pada tahun 2080.
Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi industri pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.
Sebetulnya rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City sudah ada sejak 2004. PT Makmur Elok Graha menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah kala itu melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam bekerja sama.
Berdasarkan situs BP Batam, proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.
Saat ini rencana pembangunan proyek Rempang Eco City akan dijalankan, dan dengan luas tanah yang sebesar itu tentunya akan ada beberapa masyarakat yang harus direlokasi.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi menyatakan pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi untuk masyrakat terdampak.
Namun, banyak masyrakat terdampak yang menolak untuk di relokasi dengan alasan mereka sudah ada sejak tahun 1834 dan tidak ikhlas apabila harus berpindah.
Warga menolak atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City itu dan berbentrokan dengan aparat gabungan yang mengawal pada 7 September 2023.
Mereka menolak pengukuran lahan yang dilakukan BP Batam dan terjadi kericuhan yang tak terhindarkan, sebanyak 7 warga ditangkap dan dijadikan tersangka.
Bentrokan kembali terjadi antar warga yang menolak proyek tersebut dengan aparat gabungan pada 11 September 2023.
Masyarakat menggelar aksi demonstrasi di depan kantor BP Batam, dan Mereka juga menuntut tujuh warga yang sebelumnya ditangkap dan jadi tersangka dibebaskan.
Informasi mengenai peristiwa ini menyebar dengan cepat hingga seluruh indonesia mengetahui kejadian ini.
Dedi Mulyadi atau yang kerap disapa Kang Dedi Mulyadi mengungkapkan pendapat dan sarannya untuk kedua belah pihak mengenai hal ini.
"Investasi adalah sebuah kebutuhan bagi negara agar mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup, dengan adanya investasi apalagi sebuah perusahaan kaca terbesar di dunia maka akan ada tenaga kerja yang terserap dan mengembangkan regulasi ekonomi."
Dedi Mulyadi menyebutkan bahwa tenaga kerja yang terserap haruslah berasal dari lingkungan sekitar Pulau Rempang dan masyarakatnya harus diberikan pelatihan agar dapat memenuhi syarat bekerja di indsutri tersebut.
Ia pun menyebutkan bahwa sebuah pembangunan harus memberikan efek positif bagi masyrakat sekitar.
Dedi Mulyadi menyarankan untuk diadakan diskusi terbuka antara pemerintah dan pihak masyarakat agar tidak terjadi salah paham dan menimbulkan kericuhan.
"Harus ada langkah kita bersama untuk mendialogkan kepada masyrakat, ini industri sebuah kebutuhan, tanah ini diperuntukan untuk industri, ini tempat anda yang baru, kalo keberatan, apa keberatannya? Aspek apa saja yang musti dipenuhi agar masyrakat merasa nyaman ditempat yang baru."