By Syafril Sjofyan *)
Sebagai pemerhati kebijakan publik saya harus mengingatkan bahwa kasus kekerasan oleh Kepolisian dan TNI di pulau Rempang sangat potensial untuk mengajukan rejim Jokowi kepengadilan HAM baik di dalam maupun di luar negeri.
Tentang perlakukan kekerasan pada tgl 7 September 2023 di Pulau Rempang Galang dengan mengerahkan pasukan gabungan keamanan berseragam dengan persenjataan lengkap mengusir penduduk asli Indonesia pulau Rempang.
Serangan langsung kepada penduduk sipil (7/9) itu menjadi unsur dari pelanggaran HAM berat. Pasal 7 Statuta Roma 1998 berbunyi “attack directed against any civilian population” dari kebijakan negara merupakan “crime against humanity”.
Pasal ini diadopsi pada Pasal 9 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 9 UU No 26 tahun 2000 secara eksplisit menegaskan “serangan langsung kepada penduduk sipil” adalah kejahatan kemanusiaan termasuk perbuatan “d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa”.
Termasuk Panglima TNI Marsekal Yudo Margono “mengancam” melalui penyampaikan pengarahan untuk mengirimkan pasukan “pemiting” untuk berhadapan dengan rakyat mengatasi konflik kepentingan di Rempang.
Seribu pasukan yang dilatih dengan alat pemiting dikerahkan untuk menghadapi penduduk asli pulau Rempang yang terdiri dari suku bangsa Melayu, yang berjuang mempertahankan hak mereka tentang tanah dimiliki secara turun temurun di pulau Rempang. Sekarang mereka di intimidasi karena berjuang untuk mempertahankan hak-hak tradisional dari pemaksaan untuk pengosongan pulau tersebut.
Arahan Panglima TNI sangat keterlaluan setelah Jokowi “memaksa & menegur” baik Kapolri maupun Panglima TNI dengan memberi “batas waktu” pada tanggal 28 September pulau Rempang harus “dikosongkan” kebijakan Jokowi sebagai Presiden tersebut terkait tindak lanjut dari Kesepakatan butir 7 Jokowi-Xi Jinping di Chengdu China.
Sehingga Jokowi dengan segala cara “siap tempur” dengan rakyatnya sendiri. Ini lebih buas dibandingkan era penjajahan kolonial Belanda, sangat jelas melanggar HAM.
Presiden Jokowi bersama para “begundalnya” Luhut Binsar Panjaitan (yang mengancam akan membuldoser) Bahlil Lahadahlia dan Airlangga Hartarto, Yudo Margono serta Tomy Winata dapat diseret ke Pengadilan HAM karena memaksa mengusir dan memindahkan penduduk secara paksa.
Sementara dasar hukum memasukan proyek “Rempang Eco City” sebagai Program Strategis Nasional sebagai Pabrik Kaca dan Solarsel hanya berdasarkan Kepmenko Perekonomian Airlangga Hartarto No. 7 tahun 2023 tanggal 28 Agustus 2023, patut dipertanyakan tanpa proses yang benar semestinya melibatkan pihak legislatif dengan Undang-undang.
Persiapan “operasi militer” ala Yudo Margono sebagai Panglima TNI, jelas melanggar Tupoksi Pertahanan Negara karena bukan kewenangan TNI serta menempatkan rakyat Indonesia sendiri sebagai lawan padahal mereka bukan pemberontak, tetapi rakyat yang punya hak tradisional secara turun temurun telah hidup secara baik dan tenteram dipulau Rempang.
Adalah sangat tidak pantas panglima TNI mengerahkan pasukan “khusus pemitingan”, untuk menghadapai rakyat yang tidak punya kesalahan apa-apa, hanya karena tidak mau dipindahkan dari tanah mereka ini jelas pelanggaran UU HAM serta juga melanggar Pancasila dan UUD 45.
Wajar rakyat Indonesia, bukan saja suku melayu tetapi semua suku di Indonesia sangat kuatir melihat cara-cara rejim Jokowi “mempersiapkan perang” melawan rakyat Indonesia sendiri khususnya suku Melayu di pulau Rempang, dan akan menjadi model untuk “merampas” kehidupan rakyat asli didaerah lain demi kemauan bangsa asing China dengan topeng investasi terbesar dengan baju Program Srategis Nasional yang diputuskan secara semena-mena.
Padahal dari 13.500 pulau yang dimiliki Megara Indonesia, banyak pulau yang kosong yang bisa dimanfaatkan untuk menampung keinginan Investor dari China tersebu, bukan dengan mengusir penduduk asli yang sudah turun temurun menghuni dan menjaga pulau tersebut.
Rejim Jokowi jika masih terus memaksa dan menyesengsarakan rakyatnya demi investor China, adalah hak rakyat Indonesia untuk menghentikannya, dan mencabut kursi ke presidenan Jokowi.
Bandung, 16 September 2023
*Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Pergerakan 77-78