Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Rempang dan Perlawanan Keturunan Pasukan Elite 300 Tahun Silam

'Rempang dan Perlawanan Keturunan Pasukan Elite 300 Tahun Silam'

Ribuan warga Rempang, Batam, menolak digusur dari tanah kelahirannya. Mereka tak ingin direlokasi ke Pulau Galang atas nama pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.

Perlawanan pun tak terelakkan. Bentrokan antara aparat dan warga pecah pada 7 September lalu. Polisi menembakkan gas air mata ke arah massa. Anak-anak di sekolah ikut terkena dampaknya hingga dilarikan ke rumah sakit.

Berselang lima hari, kericuhan kembali terjadi di kantor BP Batam. Sebanyak 43 orang yang menolak relokasi ditangkap polisi lantaran dituduh provokator. Mereka dijadikan tersangka.

Aksi represif aparat di Rempang memicu kemarahan masyarakat Indonesia. Sedikitnya 130 organisasi masyarakat sipil dari Aceh hingga Papua mendesak pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo untuk menghentikan proyek Rempang Eco City. 

Ribuan warga Rempang, Batam, menolak digusur dari tanah kelahiran. Mereka berjuang menjaga muruah peninggalan leluhur yang terancam proyek Rempang Eco City.

Lembaga Adat Melayu Riau mengeluarkan empat poin maklumat terkait tragedi kemanusiaan di Rempang. Salah satunya, mereka meminta pemerintah tidak menggunakan cara-cara represif, intimidatif, dan kriminalisasi terhadap masyarakat Melayu yang mempertahankan haknya.

Ulama asal Riau, ustaz Abdul Somad ikut menyerukan agar para pengacara terbang ke Rempang untuk membantu masyarakat. Dia menilai warga yang ditangkap polisi adalah mereka yang ingin mempertahankan tempat tinggal dan sumber penghidupannya.

"Mereka bukan pengedar narkoba, koruptor, mereka adalah orang yang membela tanahnya, rumahnya, macam mana kalau rumah kita, (untuk) cari makan, dirampas," kata ulama asal Riau itu.

Jokowi sendiri telah memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo turun tangan. Dia menilai bentrokan di Rempang terjadi karena kesalahpahaman. "Masa urusan begitu harus sampai presiden," kata Jokowi.

Gas air mata ditembakkan ke arah massa saat kerusuhan pecah antara aparat dengan warga Rempang, Kota Batam, Kamis (7/9/2023). (Foto: Arsip Istimewa)
Masyarakat tanpa sertifikat

Kerusuhan pecah saat tim gabungan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol PP saat mendatangi kawasan Rempang, Kota Batam, Kamis (7/9/2023).Kerusuhan itu bermula saat para warga Rempang, melakukan aksi penutupan jalan untuk menghadang tim gabungan itu masuk ke kampung mereka.


Masyarakat tanpa sertifikat 

Rempang Eco City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam Program Strategis Nasional 2023. Pembangunan proyek itu diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang disahkan pada 28 Agustus lalu.

Rempang masuk kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di pulau seluas 16.583 ribu hektare itu akan dibangun kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata.

Sekitar lebih dari 7.500 warga setempat bakal direlokasi ke Dapur 3 Sijantung, Pulau Galang, Batam. Pada tahap awal, jumlah warga yang direlokasi mencapai 2.000 kepala keluarga.

Secara administratif, Rempang termasuk bagian dari Kota Batam. Wilayahnya terdiri dari Kampung Tua, areal tanah bekas hak guna usaha (HGU), dan kawasan hutan.

Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan (HPL) seluruh areal di Pulau Batam kepada Otorita Batam, kini bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan bebas (BP) Batam. 

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menyatakan masyarakat yang menempati Pulau Rempang tidak memiliki HGU.

"Jadi, masyarakat yang menempati Pulau Rempang itu tidak ada sertifikat karena memang dulu semuanya ada di bawah Otorita Batam," kata Hadi dalam Rapat Kerja bersama Komisi II DPR RI, Jakarta, Selasa (12/9).

Dia menjelaskan Lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City merupakan kawasan hutan. Sebanyak 600 hektare di antaranya merupakan HPL dari BP Batam.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyebut tanah yang bersengketa itu milik negara. Dia mengatakan negara memberikan HGU kepada investor. Karena itu, Mahfud menyebut peristiwa di Rempang bukan penggusuran, namun pengosongan lahan oleh yang berhak.

"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya," ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).

Proyek strategis nasional itu sendiri bakal dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan milik Tomy Winata. Proyek tersebut ditargetkan bisa menarik investasi sekitar Rp381 triliun hingga 2080, dengan target 30 ribu tenaga kerja.

PT MEG menggandeng perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited. Perusahaan ini berencana membangun fasilitas hilirisasi pasir kuarsa dan ekosistem rantai pasok industri kaca. 

Kampung Tua dan kehidupan 300 tahun lalu

Status kepemilikan tanah di Rempang jadi polemik. Tokoh masyarakat di Rempang, Khazaini KS mengatakan warga yang menolak relokasi mayoritas tinggal di 16 Kampung Tua. Menurutnya, masyarakat setempat sudah ada di sana jauh sebelum Indonesia merdeka.

"Dari hasil asesmen lapangan kami, mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi karena kampung sudah eksis dari 1834," kata Khazaini kepada CNNIndonesia.com, Jumat (8/9).

Tokoh Melayu Riau, Alzaini Agus menyebut masyarakat Melayu sudah tinggal dan beranak pinak di Rempang, termasuk Pulau Galang dan Bulang, sejak lebih dari 300 tahun lalu. Mereka eksis serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang hingga hari ini. 

Alzaini mengutip kitab Tuhfat An-Nafis karya pahlawan nasional Raja Ali Haji itu ditulis dengan Bahasa Melayu Arab pada tahun 1885, dan diterbitkan pertama kali pada 1890. Naskahnya juga diterbitkan pada 1923 untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang, dan Bulang adalah keturunan dari prajurit atau laskar Kesultanan Riau Lingga. Mereka mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Dia menyebut pada masa perang Riau I (1782-1784) melawan Belanda, penduduk setempat menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah, kakek Raja Ali Haji. Kemudian, dalam Perang Riau II (1784-1787), mereka di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, ikut berjuang melawan Belanda.

Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada 1787. Alzaini mengatakan saat itu Pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman. Keduanya diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.

"Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga," kata Alzaini saat dikonfirmasi oleh CNNIndonesia.com, Kamis (14/9).

Dosen Universitas Islam Riau itu mengungkapkan pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite).

"Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami Pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun," ujar dia. 

Infografis Serba-serbi Rusuh Rempang Buntut Proyek Strategis Nasional

Negara Dinilai Keliru Anggap Warga Rempang sebagai Pendatang

Alzaini berpendapat pejabat negara keliru jika menganggap penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang.

"Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut," katanya. 

Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji Kepulauan Riau, Anastasia Wiwik Swastiwi menjelaskan berdasarkan penelitian antropolog Singapura, Viviene Wee, jumlah penduduk di Pulau Galang yang berdekatan dengan Rempang, mencapai 1.300 orang pada tahun 1823.

Pada masa kemerdekaan, Kepulauan Riau bergabung dengan wilayah Republik Indonesia. Seiring waktu, pemerintahan Orde Baru menerbitkan Keppres Nomor 41 Tahun 1973.

Kampung Tua sudah ada sebelum Keppres tentang hak pengelolaan Otorita Batam itu diterbitkan. Kemudian pada 2004, Wali Kota Batam tidak merekomendasikan Kampung Tua menjadi bagian dari hak pengelolaan.

Hal itu tercantum dalam Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam.

"Status kepemilikan tanah dan Kampung Tua, itu konotasinya lebih ke sisi hukum. Menurut perda Batam, Kampung Tua artinya kampung yang ada sebelum Otorita Batam hadir, lebih ke bahasa hukum," kata Anastasia. 

Kekeliruan pemerintah

Setelah lebih dari 300 tahun warga berjuang mempertahankan ruang hidupnya, kini mereka terancam tergusur dengan pembangunan PSN Rempang Eco City.

Mahfud MD menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa HGU. Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK.

"Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," kata Mahfud. 

Alzaini menjelaskan memang ada pendatang yang mengisi lahan di Rempang saat status quo. Namun, pendatang itu menempati bagian darat di Pulau Rempang.

Sedangkan, kata dia, penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 Kampung Tua Pulau Rempang.

Dia berpendapat hak atas lahan seharusnya dicabut oleh pemerintah jika diketahui tanah itu ditelantarkan selama 19 tahun. Hal itu mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Alzaini pun heran negara justru memberikan pintu masuk untuk PT MEG. Terlebih, warga Rempang baru mengetahui rencana Pembangunan megaproyek Rempang Eco City pada awal Agustus 2023 dari pemberitaan.

"Tidak ada sosialisasi resmi dari pemerintah sebelumnya," ujarnya.

Dia kecewa dengan pengerahan aparat yang berlebihan ke Rempang agar warga bersedia direlokasi. Menurutnya, pemerintah telah melakukan penindasan dan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya sendiri.

"Negara telah melanggar hak warga untuk bertempat tinggal, hak untuk bermata pencaharian, hak atas kesejahteraan lahir dan batin, hak atas pelayanan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak generasi penerus," jelas dia.

Kalau kata Ustadz @UAS_AbdulSomad nih ya, mereka adalah warga yang mempertahankan tanahnya, bukan kriminal.

Bantuan hukum terhadap mereka menjadi satu keharusan. pic.twitter.com/SypHr28J4G— YayasanLBHIndonesia (@YLBHI) September 13, 2023

Menjaga muruah di tanah leluhur

Juru Bicara Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Suardi Mongga menyatakan akan terus mempertahankan tanah yang jadi peninggalan leluhurnya di Rempang. Dia mengatakan permasalahan mendasar bukan ganti rugi atau relokasi tapi ada nilai-nilai dan warisan yang harus dijaga.

Menurutnya, empat generasi sudah tinggal di Rempang. Dia menyebut leluhurnya adalah pasukan dari salah satu panglima di Kerajaan Lingga-Riau. Nenek leluhurnya itu bermukim di Rempang lebih dari 150 tahun lalu.

Oleh sebab itu, dia dan warga Rempang lain merasa mempunyai kewajiban untuk menjaga muruah.

"Nenek moyang kita juga bagian dari panglima kerajaan Riau Lingga. Tanah yang kami miliki bagian dari tanah pusaka yang memang harus kami pertahankan. Khususnya di daerah daerah pesisir, di pulau Rempang ini," kata Suardi kepada CNNIndonesia.com.

"Kalau bicara Rempang, kita tidak berbicara relokasi atau ini tapi nilai sejarahnya. Kita tidak mau hilang. Kalau kata pepatah 'Melayu tak akan hilang di bumi', inilah yang kami pertahankan," lanjutnya. 

Suardi menyebut Rempang adalah bumi kelahiran nenek moyangnya, di mana pusat kehidupan berada.

"Jadi memang perlu kita pertahankan, berkaitan dengan muruah," ujarnya.

Suardi mengatakan warga Rempang tidak menolak PSN. Hanya saja, mereka menolak pergi dari tanah nenek moyangnya.

Menurutnya, pemerintah harus lebih bijak dalam pembangunan PSN, tidak boleh mengorbankan rakyat. Dia menyebut pemerintah seharusnya melibatkan warga sebelum menggusur dan merelokasi.

Suardi berharap anak, cucu, cicit dan generasi seterusnya masih bisa hidup di Rempang.

"Bukan masyarakat Rempang menghalangi PSN. Artinya yang kami pertahankan kampung-kampung yang ada di 16 titik," ujarnya.  

Sumber Berita / Artikel Asli : CNN Indonesia

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Onlineindo.TV | All Right Reserved