Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar halaqah atau pertemuan ormas Islam. Dalam kesempatan itu MUI memberi pesan agar pendukung capres tak menggunakan istilah agama.
"Agar para tim kampanye atau pendukung calon tak menggunakan istilah agama dalam mendukung calon tertentu, seperti menyebut haram, wajib atau bid’ah [KBBI: bidah] untuk memilih atau tidak memilih pada calon tertentu," kata Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis di kantor MUI, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Jumat (15/9).
Hadir dalam halaqah ini Maria Ulfa Anshori dari Dewan Masjid Indonesia, R. Achmad Nurwakhid dari BNPT, serta sejumlah tokoh lain.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, bidah diartikan sebagai 'perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam'. Arti lainnya, 'pembaruan ajaran Islam tanpa berpedoman pada sumber otoritatif, seperti Al-Quran, hadis, ijmak, dan kias'.
"Baiknya tim kampanye membuat materi kampanye dan program-program baik yang disampaikan agar menarik perhatian pemilih," tegas Cholil.
Cholil menjelaskan, halaqah ini diadakan MUI untuk merajut ukhuwah ormas Islam.
Kiai Cholil Nafis juga berpesan agar masjid steril dari politik praktis dan kampanye calon anggota legislatif atau capres.
"Meskipun bicara politik keadaban, tetap dibutuhkan dalam nasihat-nasihat di masjid," tutup Cholil.
Istilah bid'ah atau bidah diungkapkan Menag Gus Yaqut saat menyinggung kata Amin dalam pidatonya. Gus Yaqut berkilah bahwa pernyataannya tak terkait dengan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar alias AMIN.