Pemilihan Presiden (Pilpres) RI kembali menjadi sorotan asing. Kali ini media Hong Kong, South China Morning Post (SCMP).
Namun bukan terkait para calon presiden (captes) yang sudah mengumumkan diri maju di 2024, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Melainkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Artikel itu sendiri memuat judul "Indonesia election 2024: Jokowi accused of 'abuse of power' after he claims to spy on political parties".
Disebutkan bagaimana Presiden menyebut aksesnya kepada laporan intelijen yang merinci cara kerja partai politik dalam negeri.
"Klaim Presiden Indonesia Joko Widodo baru-baru ini mengenai akses terhadap laporan intelijen yang merinci cara kerja partai politik dalam negeri telah mengundang kritik tajam dari kelompok hak asasi manusia, dan beberapa pengamat berpendapat bahwa pengungkapan tersebut bisa menjadi bak kasus Watregate di negara Asia Tenggara," muat media itu diterjemahkan, dikutip Rabu (20/9/2023).
"Berbeda dengan krisis politik Amerika pada tahun 1970-an yang akhirnya menjatuhkan mantan Presiden AS Richard Nixon, yang terjadi bukanlah pemberitaan investigatif, melainkan Widodo sendiri yang pada akhir pekan lalu mengungkap pengintaian terhadap partai politik yang dilakukan oleh aparat keamanan," ujarnya lagi menyinggung skandal Watergate di AS.
Pernyataan pengacara hak asasi manusia dan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan (Elsam) diambil. Di mana lembaga itu mengkritik kenyataan yang dipaparkan Presiden.
"Hal ini harus menjadi pertimbangan DPR untuk menggunakan hak bertanya untuk memperjelas hal ini kepada presiden," ujarnya dikutip media tersebut.
Meski demikian, mengutip salah satu politisi PDIP Masinton Pasaribu, dikatakan wajar jika Presiden diberi data intelijen, termasuk kejadian internal partai politik.
Hal senada juga mendapat pembelaan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD.
"Presiden pasti punya intelijen, siapa politisi yang buruk, dan siapa politisi yang benar...apa gunanya punya intelijen kalau tidak bisa melaporkannya ke presiden?" kutip laman itu merujuk pernyataan Mahfud, yang menambahkan bahwa Jokowi tidak melanggar hukum apa pun.
Pilpres RI sendiri akan dilakukan 14 Februari 2024. Hingga kini baru satu bakal calon yakni Anies Baswedan yang mengumumkan pasangannya.
Anies akan berpasangan dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Prabowo dan Ganjar sendiri belum menentukan calon.
Ini bukan pertama kali pula pilpres RI disorot media asing. Sebelumnya The Economist juga menyoroti bagaimana RI jika pilpres berlangsung dan Jokowi benar-benar lengser.
Di kanal Asia Tenggaranya, laman itu memuat judul khusus tentang pemilu di RI yang akan mengubah rezim sang Presiden.
Judul tersebut bertajuk "What will Indonesia look like after Jokowi leaves?". Tulisan awal dimulai dengan bagaimana RI di masa Jokowi yang digambarkan telah berperan sebagai "negarawan global".
Namun meski Jokowi tengah menikmati popularitasnya, spekulasi bermunculan mengenai warisannya nanti. Apalagi, kalau bukan siapa yang akan menggantikannya setelah ia mengundurkan diri tahun depan.
"Ketika Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, ia tak seperti pemimpin yang pernah ditemui di negara ini: seorang pembuat furnitur yang dibesarkan di gubuk tepi sungai ... tidak memiliki hubungan dengan tentara atau keluarga terkemuka mana pun," tulis media itu.
"Dia paling betah bertanya tentang harga bawang di pasar atau membagikan kaos kepada orang banyak agar bisa melihatnya sekilas ke manapun dia pergi. Ia telah merevolusi politik Indonesia dengan memanfaatkan operasi media sosial yang cerdas dan fokus tanpa henti pada pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
"Namun ada tiga ketidakpastian besar yang menghantui warisannya: apakah perekonomian Indonesia akan terus tumbuh, apakah penggantinya akan mempertahankan kebijakannya, dan apakah negara tersebut dapat mempertahankan tindakan penyeimbangan di dunia yang terpecah," terang laman itu lagi