Nasib miris warga Pulau Rempang sulit digambarkan, padahal dulu dengan gagah berani warga adat yang mendiami Pulau Rempang berhasil usir penjajah dari tanah Melayu yang ditempati sejak zaman nenek moyang mereka.
Meski warga Pulau Rempang berhasil usir penjajah, namun tidak serta merta mereka nyaman hidup di tanah mereka sendiri. Warga terusik karena saat ini mereka justru diusir oleh negaranya sendiri.
Konflik aparat dengan warga Pulau Rempang, Batam tak terelakkan. Mereka diusik dan diusir dari tanahnya sendiri.
Diketahui konflik Pulau Rempang mencuat usai adanya kerusuhan dalam penggusuran di Pulau Rempang pada Kamis (7/9/2023).
Konflik tersebut bermula dari pemerintah yang mengklaim bahwa tanah di Pulau Rempang merupakan milik negara. Bahkan, warga adat yang sudah mendiami Pulau Rempang selama satu abad dianggap numpang karena tidak memiliki sertifikat tanah.
Mendengar hal itu, Raja Kesultanan Riau-Lingga buka suara. Dalam suratnya, Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh membantah bahwa warga Pulau Rempang merupakan pendatang.
Bahkan kata Sultan, masyarakat Pulau Rempang yang kini mendiami kampung-kampung itu merupakan keturunan prajurit dari Kesultanan Melayu Bintan yang kemudian berganti menjadi Kesultanan Riau-Lingga yang sudah ada sejak abad 11.
Leluhur mereka merupakan prajurit yang sudah mendiami Pulau Rempang sejak masa Kesultanan Sulaiman Badrul Alam Syah I sejak tahun 1720.
Selanjutnya, mereka pun ikut berperang bersama Raja Haji Fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782 hingga 1784.
Begitu juga dalam Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) pada tahun 1784 hingga 1787.
“Jadi mereka bukan pendatang, masyarakat yang tinggal di Pulau Rempang itu adalah keturunan dari prajurit Kesultanan Melayu Bintan atau Kesultanan Riau-Lingga saat ini,” ungkap Prof Abdul Malik.
Karena membantu Indonesia merdeka, tanah itu kemudian diberikan atas jasa para prajurit melawan penjajah Belanda.
Kampung-kampung itu merupakan basis pertahanan di Selat Kesultanan Melayu Bintan.
Ketika Sultan Mahmud Syah III berhasil memenangkan pertempuran laut melawan VOC dan Belanda pada 13 Mei 1787, para prajurit yang berasal dari Kalimantan Utara, Johor, Malaka dan Sumatera itu menggabungkan kekuatan.
Mereka menjadikan ratusan pulau-pulau di Kepulauan Riau itu sebagai basis pertahanan.
Bahkan pejabat Belanda, P. Wink pernah berkunjung ke sana pada 1930 dan menulis hasil kunjungannya dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang.
Seperti diketahui, pemerintah berencana merelokasi warga Rempang, Batam karena adanya proyek pembangunan pabrik kaca terintegrasi hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Xinyi Group asal China.
Diperkirakan, total investasi sekitar 11,5 miliar Dolar AS atau setara Rp 117,42 triliun dengan total penyerapan tenaga kerja kurang lebih 30 ribu orang.
Namun, warga setempat yang telah berpuluh-puluh tahun menempati wilayah tersebut menolak relokasi dan sempat terjadi kericuhan saat polisi hendak mengamankan berbagai aksi unjuk rasa.
Raja Kesultanan Riau-Lingga mengeluarkan lima titah untuk pemerintah Indonesia soal konflik Rempang.
Adapun, Raja bernama Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh ini juga memberikan komentar.
Ia menilai bahwa dulu warga Rempang usir penjajah, kini diusir negara sendiri.