Konflik agraria di Pulau Rempang pada 8 September 2023, tidak terlepas dari sistem pengelolaan tanah di Batam yang berbeda dari wilayah di Indonesia lain. Dilansir dari Koran Tempo, hal itu bermula sejak hadirnya Otorita Batam yang juga dikenal sebagai Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), memiliki hak pengelolaan atas seluruh tanah di wilayah tersebut.
Presiden Soeharto menetapkan Batam sebagai wilayah strategis. Kemudian dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 41 Tahun 1973 yang menetapkan Batam jadi kawasan industri dan mempertegas aturan tentang tanah di Batam yang dikelola oleh BP Batam.
Peraturan itulah yang kerap memunculkan konflik agraria di Batam. Sebelum di Pulau Rempang, hal yang serupa terjadi di Pulau Galang.
Definisi Konflik Agraria
Selain disebabkan oleh sistem tanah yang bermasalah, konflik agraria berdasarkan artikel ilmiah berjudul Konflik Agraria Dalam Pengelolaan Tanah Perkebunan Pada Pt Hevea Indonesia (Pt Hevindo) Dengan Masyarakat Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor Oleh Suharto dan Basar, menjelaskan bahwa konflik agraria juga disebabkan adanya kesenjangan antara sumber-sumber agraria. Seperti kesenjangan penguasaan dan kebijakan yang saling bertentangan.
Konflik agraria biasanya berfokus pada pneguasaan dan pengelolaan agriaria yang mencakup tanah, air, dan udara. Pengelolaan agraria oleh negara untuk kepentingan masyarakat biasanya dalam kenyataannya masih jauh dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang. Hal itu menimbulkan beragam konflik agraria.
Keadilan agraria yang menjadi tanggung jawab negara tercantum dalam mandat UUD 1945 dalam Pasal 33 yang implementasinya sudah di atur dalam Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Mengapa Konflik Agraria Terjadi?
Berdasarkan artikel ilmiah berjudul Kritik Atas Penanganan Konflik Agraria Di Indonesia yang ditulis Lilis Muryani, setidaknya ada empat kenapa konflik agraria terjadi.
1. Berulangnya kejadian konflik agraria menandakan penanganan yang tidak efektif
Menurut Lilis terlalu banyak mekanisme penanganan konflik di agraria melalui berbagai lembaga negara yang tidak optimal dalam menyelesaikan konflik. Beberapa rekomendasi dari lembaga yang menangani konflik sering berpihak pada salah satu pihak.
2. Akar sumber konflik agraria belum diperbaiki
Kasus pidana atau kekerasan yang muncul merupakan gejala dari akar konflik agraria yang telah berlangsung lama. Akar atau sumber konflik kemudian menjadi tenggelam di dalam kasus pidana.
3. Semakin meningkatnya intensitas menggunakan kekerasan
Pada awalnya, penggunaan kekerasan adalah langkah terakhir dari para pihak yang bersengketa jika proses penyelesaian buntu. Namun dalam konflik agraria, penggunaan kekerasan selalu digunakan oleh pihak yang memiliki kekuatan (posisi yang didukung pemerintah, Polri, sampai TNI, atau memiliki dana). Penggunaan kekerasan itu akan menimbulkan pihak korban yang haknya dilanggar merasa putus asa. Ini yang membuat konflik agraria kadang berkepanjangan karena melanggar hak asasi manusia.
4. Ada sesuatu yang salah dalam kebijakan pengelolaan sumber daya agraria
Di level negara sebagai bentuk pelaksana pemerintahaan sebenarnya ditujukan untuk mensejahterakan rakyat. Namun, dalam kenyatannya tidak demikian. Hal ini kemudian yang juga menjadi salah satu penyebab munculnya konflik agraria. Di samping memang konflik agraria ini merupakan konflik yang kompleks dan multi-dimensi.
Deretan Konflik Agraria yang Pernah Terjadi
Beberapa konflik agraria yang cukup disorot publik adalah konflik agraria yang terjadi di beberapa daerah berikut:
- Konflik terhadap proyek pembangunan Bendungan Bener dan tambang batu andesit di Desa Wadas
- Konflik dengan perusahaan dan pabrik semen di Kendeng
- Sengketa tanah di Dago Elos Bandung
- Penolakan bandara internasional di Kulon Progo
- Konflik agraria di Kinipan, Kalimantan Tengah
Konflik agraria di Indonesia sendiri dan masih banyak yang belum disebutkan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya terdapat 212 konflik agraria sepanjang 2022. Dilansir dari Tempo, KPA mencatat terjadi konflik agraria di 459 desa tetapi ada pula di wilayah perkotaan.
"Jumlah masyarakat terdampak juga naik drastis kurang lebih 50 persen dibandingkan 2021, yaitu 346 ribu keluarga yang terdampak," kata Sekertaris Jenderal (Sekjen) KPA Dewi pada 9 Januari 2023.