Oleh: M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan / fnn
USULAN Ketua BNPT Ricko Amelza Dahniel agar seluruh tempat ibadah berada dalam kontrol Pemerintah dinilai berlebihan dan melanggar Konstitusi.
Hanya pada rezim Jokowi ada lembaga yang nekad mengusulkan kontrol Pemerintah atas tempat ibadah. Mungkin BNPT berasumsi bahwa tempat ibadah adalah ruang bagi terorisme.
Sungguh keterlaluan dan melecehkan. BNPT mungkin merasa menjadi lembaga strategis yang mampu menentukan. Jika usulannya direspon maka ini adalah bibit dari etatisme atau tirani.
Negara yang anti demokrasi dan menginjak-injak hak-hak asasi manusia. Kebebasan beragama diganggu dan secara sistemik dihancurkan.
Jika negara mengontrol tempat ibadah maka rezim ini adalah telah nyata-nyata menjadi komunis. Pancasila hanya pro forma. Agama ditempatkan sebagai musuh yang harus dikalahkan dan dilumpuhkan.
Ketika Masjid, Gereja atau tempat ibadah lain dikontrol oleh Pemerintah maka secara tidak langsung Pemerintah telah mengambil tafsir ibadah menurut kemauannya sendiri. Dapat mengatur, menangkap, menutup bahkan mungkin merekayasa.
Rezim ini munafik. Di satu sisi meminta agar agama dijauhkan dari politik. Melempar ke arah kelompok keagamaan isu politisasi agama, padahal di sisi lain Pemerintah justru yang melakukan politisasi agama itu. Menuduh aktivis keagamaan radikal, intoleran bahkan teroris, padahal Pemerintah sendiri yang radikal, intoleran dan teroris.
Mulai muncul usulan BNPT agar dibubarkan. Mungkin usulan tersebut ada benarnya karena bagi rakyat atau masyarakat BNPT itu tidak dirasakan manfaatnya bahkan sepertinya memudaratkan. Kontra produktif. Tiga alasan rasional, yaitu :
Pertama, terorisme sebagai isu global sudah mereda bahkan hilang. Terorisme adalah isu politik Barat untuk melumpuhkan dunia Islam. Islamophobia di AS telah dihentikan. AS adalah pimpinan proyek Islamophobia termasuk terorisme. PBB kini turut mencanangkan pelawanan atas gerakan Islamophibia tersebut.
Kedua, terorisme itu kalaupun ada dilakukan oleh kelompok kecil. Tidak sedikit kelompok itupun adalah peliharaan atau "binaan" sebagai pelaksanaan proyek terorisme global. Di Indonesia organisasi teroris tidak pernah terjelaskan bahkan aksi-aksi teror dicurigai sebagai drama buatan atau boleh disebut dengan "artificial terrorism".
Ketiga, ketika korupsi saja yang daya rusaknya bagi bangsa dan negara sangat dahsyat telah bergeser dari "extra ordinary crime" menjadi "ordinary crime" maka terorisme yang secara empirik tidak terbukti menjadi perusak besar sudah lebih patut untuk menjadi "ordinary crime". Karenanya lembaga khusus seperti BNPT tidak diperlukan lagi.
Ketika BNPT mulai kehilangan pekerjaan maka lembaga ini cari-cari kerjaan. Usul pengawasan tempat ibadah dalam konteks "radicalism" dan "terrorism" tentu akan menyerahkan "leading sector" nya kepada BNPT. Nah berapa banyak di Indonesia itu tempat-tempat ibadah ? Sebanyak itulah pekerjaan atau proyek yang dapat dibuat proposalnya.
Sebagaimana KPK yang kini udah menjadi alat kepentingan politik maka BNPT juga kehilangan obyektivitasnya dalam pelaksana tugas. Alih-alih mencegah terorisme justru menjadi penyebar teror bagi rasa tenang masyarakat. BNPT menjadi lembaga yang mengancam dan menakut-nakuti. Rekomendasi pengawasan tempat ibadah adalah bukti salah satu teror itu.
Aparat penegak hukum Kepolisian sudah cukup memadai untuk mampu menanggulangi terorisme di Indonesia. BNPT dan juga Densus menjadi tidak dibutuhkan. Kecuali kita akan melanjutkan dan membudayakan "artificial terrorism" atau terorisme buatan. Rakyat merasakan sulit untuk saat ini menemukan adanya "natural terrorism"--terorisme alami.
Apalagi hal itu muncul dari tempat-tempat ibadah. Rasanya mengada-ada saja.
Bandung, 7 September 2023