Konflik yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau akhir-akhir ini mengundang perhatian publik.
Konflik Pulau Rempang merupakan konflik atas lahan yang rencananya akan dikembangkan sebagai kawasan Rempang Eco City, yang merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Masyarakat lokal menolak untuk direlokasi demi perwujudan Rempang Eco City, karena tanah tersebut telah didiami ratusan tahun lamanya sejak zaman nenek moyang.
Ada beberapa poin penting terkait konflik di Pulau Rempang antara rakyat dan pemerintah. Berikut rangkuman informasinya.
1. Profil dan sejarah Pulau Rempang
Dilansir dari website Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang ada di wilayah Kecamatan Galang, sekitar tiga kilometer di sebelah tenggara Pulau Batam.
Pulau seluas 165 kilometer persegi ini memiliki jumlah penduduk sekitar 7.500 jiwa, yang sebagian besarnya berprofesi sebagai nelayan dan pedagang.
Dikutip dari situs Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, penduduk Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Bulang adalah keturunan prajurit atau laskar Kasultanan Riau Lingga.
Keturunan para prajurit ini sudah mendiami pulau-pulau tersebut sejak tahun 1720 masehi di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Nenek moyang mereka dulunya ikut berperang sebagai prajurit kasultanan yang melawan Belanda selama Perang Riau I di tahun 1782-1784 dan Perang Riau II di tahun 1784-1787.
Sebagai basis pertahanan Kasultanan Riau Lingga, Pulau Rempang, Galang, dan Bulang membuat Belanda dan Inggris kesulitan memasuki wilayah kasultanan.
Anak cucu dari prajurit inilah yang hingga kini mendiami Pulau Rempang, Galang, dan Bulang secara turun-temurun.
2. Dilirik investor dan ditetapkan sebagai PSN
Pada tahun 2004, Walikota Batam menandatangani memorandum of understanding (MoU) dengan investor dari grup Artha Graha yakni PT Makmur Elok Graha (MEG).
Namun selama 19 tahun, lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap.
Pulau Rempang kemudian kedatangan orang-orang dari luar yang mendiami wilayah daratan dan membuka berbagai usaha seperti peternakan dan perkebunan.
Sementara itu, penduduk asli Pulau Rempang tinggal dalam 16 kampung tua di wilayah pesisir.
Di tahun 2023, PT MEG menggandeng investor dari China dengan nilai investasi sebesar Rp381 triliun untuk membangun megaproyek Rempang Eco City, yang merupakan kawasan industri, perdagangan, dan wisata.
Proyek ini diprediksi akan menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 306 ribu orang hingga tahun 2080 mendatang.
Untuk mewujudkan Rempang Eco City, penduduk Pulau Rempang yang mendiami 16 kampung tua perlu direlokasi ke tempat lain.
Pengawalan realisasi investasi dan relokasi masyarakat Rempang dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
3. Konflik yang meruncing
Dikutip dari WALHI Riau, warga Rempang baru mengetahui rencana pembangunan megaproyek tersebut pada awal Agustus 2023 dari pemberitaan media.
Masyarakat kemudian menggelar aksi unjuk rasa menolak relokasi, sebab tanah tersebut telah mereka tempati selama 300 tahun dan telah menjadi identitas budaya.
Masyarakat tidak menolak pembangunan megaproyek, tetapi meminta untuk tidak dipindahkan dari kampung-kampung tua yang mereka diami.
Masyarakat juga menolak masuknya BP Batam untuk memasang patok di atas tanah yang sudah diberikan kepada investor.
Aksi unjuk rasa yang digelar warga sempat diwarnai bentrok dengan aparat keamanan, yang mengakibatkan puluhan warga luka-luka.
4. Reaksi pemerintah
Dinilai telah melanggar hak warga negaranya, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa konflik Pulau Rempang terjadi karena masalah komunikasi semata.
Presiden Joko Widodo telah mengutus Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sebelumnya pemerintah telah menawarkan tempat tinggal baru bagi masyarakat Pulau Rempang, termasuk berbagai fasilitas seperti tempat ibadah, sarana pendidikan, dan sarana kesehatan.
Hingga kini konflik antara masyarakat Pulau Rempang dan pemerintah belum menemui titik terang.
Demikianlah empat fakta penting terkait konflik Pulau Rempang yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City.***