Sebuah studi di beberapa kota mengungkap netizen yang merupakan penggemar musik K-pop cenderung melakukan perundungan sekaligus rentan menjadi korban bully di dunia maya.
Hal itu berdasarkan studi lembaga ChildFund terhadap 1.610 responden dari kalangan pelajar dan mahasiswa usia 13-24 tahun di empat provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), periode Juli - Oktober 2022.
"Penggemar K-pop memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan perundungan online (55,3 persen) dan juga memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban perundungan online (66,6 persen) dibandingkan dengan fans non-K-POP," demikian dikutip dari siaran pers ChildFund.
ChildFund International merupakan lembaga pembangunan global yang berfokus pada anak yang berpusat di Richmond, Virginia, Amerika Serikat. NGO ini juga merupakan anggota ChildFund Alliance, jejaring dari 12 lembaga pengembangan internasional berfokus pada anak di 70 negara.
"Perundungan online ini bisa meliputi berbagi informasi pribadi, pengucilan,penguntitan, pencemaran nama baik, pelecehan dan kekerasan seksual, ancaman hingga pemerasan, dan mereka yang pernah mengalami perundungan secara langsung (tradisional) akan berisiko lebih tinggi menjadi korban perundungan online," jelas Child Protection Specialist ChildFund International di Indonesia Rebeka Haning.
Terlepas dari kecenderungan untuk merundung, fan K-pop cepat bereaksi terhadap perundungan.
Secara umum, studi mengungkap 77,6 persen responden akan bereaksi saat melihat perundungan. Bentuk reaksi dominannya adalah memperingatkan pelaku (61,6 persen).
"Orang dengan pengetahuan luas tentang cyberbullying akan merespons saat menyaksikan cyberbullying. Mereka yang berpendidikan lebih tinggi atau penggemar K-pop juga memiliki kecenderungan serupa," tutur ChildFund.
Survei itu juga mengungkap NTT menjadi provinsi dengan perundungan daring tertinggi (58,6 persen) dan Jakarta jadi daerah dengan rata-rata korban bully tertinggi.
Dalam kategori pertanyaan soal keterlibatan dalam perundungan online dalam tiga bulan terakhir, studi ini mengungkap 50,9 persen mengaku tidak dan 49,1 persen mengaku terlibat.
"5 dari 10 anak dan remaja merundung yang lainnya di internet," dikutip dari keterangan lembaga itu.
Dalam kategori pertanyaan apakah menjadi korban perundungan online tiga bulan terakhir, 41,1 persen responden mengaku tidak, dan 58,6 persen lainnya mengiyakan.
"6 dari 10 anak dan remaja menjadi korban cyberbullying," kata ChildFund.
Khusus anak di bawah 15 tahun, 64,5 persen di antaranya merupakan korban dan 53,5 persen adalah pelaku bully online dibanding kategori usia lainnya.
Faktor pemicu
Lantas, apa yang memengaruhi perilaku perundungan online itu?
"Studi tersebut juga menemukan bahwa jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan menjadi penggemar K-pop berkontribusi terhadap perilaku cyberbullying," kata keterangan lembaga itu.
"Studi ini menemukan bahwa pengalaman sebelumnya sebagai korban atau pelaku tidak mempengaruhi tanggapan mereka sebagai pengamat. Namun, keterpaparan sebelumnya terhadap pelecehan online dan menjadi pelaku intimidasi tradisional secara signifikan memprediksi perilaku pengamat."
Untuk lebih lengkapnya, ChildFund mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perundungan online, yakni:
1. Paparan perundungan tradisional (luring). Adanya kemungkinan pelaku perundungan tradisional melakukan perundungan secara online/daring dan di sisi lain, korban perundungan tradisional cenderung menjadi pelaku perundungan online.
2. Pengawasan orang tua. Keaktifan orang tua dalam mengawasi kegiatan anak di dunia maya turut berkontribusi pada keterlibatan anak dalam melakukan perundungan online. Semakin minim pengawasan orang tua maka semakin tinggi peluang anak melakukan perundungan online.
3. Norma kelompok berimbas pada perundungan online. Responden melihat keterlibatan teman mereka melakukan perundungan online sebagai norma dalam berinteraksi secara daring sehingga mendorong mereka untuk melakukan hal serupa.
4. Paparan konten berbahaya di internet. Terpaan konten negatif/berbahaya akan berdampak positif pada perilaku perundungan online karena memengaruhi persepsi kekerasan bagi remaja.