Rencana PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) membanderol tarif Kereta Cepat Jakarta-Bandung seharga Rp 250 ribu untuk rute terjauh membuat Irvan Wira menimbang-nimbang moda transportasi anyar tersebut sebagai sarana angkutan rutin.
Pria yang saban pekan pergi-pulang Jakarta-Bandung itu menilai harga yang ditawarkan KCIC cukup menarik lantaran tidak berbeda jauh dari tarif mobil travel yang biasa dia naiki.
"Mobil travel tarifnya bisa Rp 200 ribu sekali jalan. Kalau menambah Rp 50 ribu untuk memangkas waktu sepertinya layak dicoba," ujar Irvan kepada Tempo, kemarin.
Tapi, sebelum akhirnya memutuskan menaiki kereta cepat, ia masih akan mempertimbangkan durasi perjalanan dari dan menuju tempat kerjanya di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, serta ketersediaan lahan parkir di stasiun.
Lain lagi dengan Ramadhan, pria yang tiga pekan sekali menyambangi Jakarta dari Bandung. Ia masih memilih menumpang mobil travel dibanding kereta cepat kendati tarif kereta cepat relatif lebih murah. Alasannya, biaya menuju stasiun akan membuat ongkos membengkak lantaran jauh dari pusat kota.
"Waktu dari dan menuju stasiun juga minimal satu jam. Pilihan transportasi umum di Bandung juga tidak memadai. Jadi, naik travel masih lebih menarik," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Dwiyana Slamet Riyadi, mengatakan harga tiket Kereta Cepat Jakarta-Bandung untuk masa awal operasi akan ditawarkan Rp 250 ribu.
"Besaran tarif ini sedang kami ajukan ke Kementerian Perhubungan," kata dia, Kamis lalu.
Dwiyana menilai tarif tersebut cukup menarik lantaran hampir sama dengan harga kelas eksekutif Kereta Argo Parahyangan yang dipatok Rp 200-250 ribu. Di sisi lain, sepur kilat menawarkan waktu tempuh yang jauh lebih cepat dibanding kereta yang sudah ada sekarang, yakni 30 menit untuk rute Stasiun Halim-Stasiun Padalarang.
Adapun Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan tarif kereta kencang bisa dipatok Rp 250-300 ribu alias berada di bawah estimasi Rp 350 ribu dengan cara pemberian subsidi yang ditanggung PT Kereta Api Indonesia (Persero)—pemimpin konsorsium Indonesia di PT KCIC.
"Kami berharap, dengan adanya subsidi, harga keekonomiannya akan mendekati harga yang bisa dibayar penumpang," ujar Budi, kemarin.
Rencana pemberian subsidi baru saja disampaikan Presiden Joko Widodo setelah menjajal kereta ringan alias LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) pada Kamis lalu. Menurut Jokowi, subsidi yang diberikan bakal serupa dengan yang diberikan untuk moda transportasi massal lainnya.
"Baik yang namanya kereta bandara, Transjakarta, KRL, kereta api (jarak jauh), LRT, MRT, maupun kereta cepat, semuanya harus ada subsidi," ujar Jokowi.
Presiden mengatakan subsidi diperlukan agar tarif terjangkau dan menarik minat masyarakat.
Dari estimasi harga keekonomian berdasarkan dokumen yang dilihat Tempo, yakni Rp 350 ribu, menjadi Rp 250-300 ribu, diperlukan subsidi sebesar Rp 50-100 ribu per orang.
Dengan target penumpang sekitar 31 ribu per hari, seperti asumsi studi Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa (Polar) Universitas Indonesia, anggaran yang perlu disiapkan dalam setahun sebesar Rp 566 miliar hingga Rp 1,1 triliun.
Sebagai catatan, pemerintah mengalokasikan anggaran kewajiban pelayanan publik alias public service obligation (PSO) sebesar Rp 2,55 triliun untuk kereta api ekonomi pada 2023. Sedangkan kereta perintis mendapat subsidi Rp 124 miliar.
Kereta Cepat Jakarta-Bandung direncanakan mulai melakukan uji coba pra-operasi untuk mengangkut masyarakat pada September mendatang. Rencana ini mundur dari target awal 18 Agustus 2023 lantaran KCIC belum merampungkan pembangunan berbagai prasarana.
Tidak Pantas Mendapat Subsidi
Pakar transportasi perkotaan dari Universitas Lampung, Aleksander Purba, menilai kereta cepat tidak pantas mendapat subsidi. Apalagi sejak awal pemerintah menggadang-gadang proyek tersebut dibangun dengan skema business-to-business.
"Tarif KA Argo Parahyangan saja mengikuti mekanisme pasar. Pemerintah dapat hadir dengan memberi batas untuk tarif kereta cepat," ujarnya.
Menurut dia, harga Rp 250-350 ribu menjadi angka yang tepat untuk layanan kereta cepat selama dua sampai lima tahun ke depan lantaran moda tranportasi baru ini mesti bersaing dengan berbagai angkutan yang sudah ada, seperti KA Argo Parahyangan, mobil travel, bus, dan kendaraan pribadi. Tapi ia menegaskan tidak sepakat kalau kereta cepat diberi subsidi.
Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Sutanto Soehodho, mengatakan subsidi lazimnya diberikan untuk membantu masyarakat yang tidak mampu menjangkau tarif keekonomian yang mempertimbangkan biaya investasi, operasi, dan perawatan.
Namun subsidi ini cuma layak digelontorkan jika berbasis pada pelayanan kelas ekonomi untuk membantu masyarakat golongan menengah ke bawah.
"Pertanyaannya adalah apakah pelayanan kereta cepat termasuk pelayanan kelas ekonomi yang membutuhkan subsidi atau justru kelas non-ekonomi?" ujar Sutanto.
Rencana pemberian subsidi ini pun semakin menjadi pertanyaan lantaran Kereta Argo Parahyangan yang berkelas pelayanan lebih rendah dari kereta cepat pun tidak mendapat subsidi.
"Jika subsidi KCJB hanya didasari dengan promosi, jangan-jangan subsidinya menjadi tanpa batas waktu."
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, menyatakan subsidi kepada kereta cepat akan menimbulkan distorsi sosial lantaran pangsa pasar kereta cepat diperkirakan masyarakat golongan mampu.