Keputusan India melarang ekspor beras dengan alasan kepentingan domestik ternyata memiliki dampak global. Dunia masih tergantung pada beras, termasuk Indonesia, yang produksinya tahun ini terganggu El Nino. Kini harga beras dunia pun terkerek naik.
Bulan lalu, tiga hari setelah Rusia menarik diri dari kesepakatan biji-bijian Laut Hitam, India memberlakukan larangan ekspor beras putih non-basmati pada 20 Juli 2023. Langkah tersebut mengikuti larangan ekspor beras pecah, yang diumumkan pada September tahun lalu dan masih berlaku.
Alasan India adalah faktor domestik yakni kenaikan harga pangan, inflasi tinggi, dan ketakutan akan kekurangan beras karena gangguan El Nino saat negara itu memasuki musim perayaan dan pemilu. Tetapi dampak larangan tersebut sekarang dirasakan secara global, dengan harga melonjak.
“Beras sebelumnya diperdagangkan seharga US$550 (sekitar Rp8,45 juta) per ton, sekarang harganya melayang di atas US$650 (hampir Rp10 juta),” ujar Nitin Gupta, Wakil Presiden Senior Olam Agri India Private Limited, salah satu eksportir beras terbesar India, mengatakan kepada Al Jazeera.
Eksportir Terbesar Dunia
India, pengekspor beras terbesar di dunia, menyumbang hampir 40 persen perdagangan beras global pada tahun 2022, mengekspor 22 juta ton senilai US$9,66 miliar ke 140 negara. Itu termasuk 4,5 juta ton beras basmati, 8 juta ton beras pratanak, 6 juta ton beras putih non-basmati, dan 3,5 juta ton beras pecah.
Mengutip BBC, sebanyak 6 juta ton beras non-basmati adalah beras putih Indica yang relatif lebih murah. Estimasi perdagangan global beras adalah 56 juta ton. Beras putih Indica mendominasi sekitar 70% perdagangan global, dan India kini telah menghentikan ekspornya.
Sejak larangan ekspor itu harga beras dunia telah meningkat sebesar 15-25 persen. Yang paling terpukul adalah orang miskin di negara-negara seperti Bangladesh dan Nepal, yang bergantung pada beras putih India, dan orang-orang di negara-negara Afrika seperti Benin, Senegal, Togo, dan Mali, yang mengimpor beras pecah yang merupakan varietas termurah dan mengenyangkan.
Harga biji-bijian internasional telah melonjak karena perang Rusia di Ukraina. Harga semakin naik sejak Rusia keluar dari Black Sea Grain Initiative, yang selama ini menjadikan biji-bijian dari Ukraina tetap bisa mencapai pasar dunia.
Saat ini muncul kekhawatiran jika Thailand, Vietnam dan Pakistan – yang bersama-sama menyumbang 30 persen dari penjualan beras global, melakukan larangan serupa jika tanaman mereka dirusak oleh El Nino.
Pedagang dan ilmuwan mengatakan kekurangan beras, makanan pokok bagi lebih dari separuh populasi dunia, akan berdampak pada komoditas lainnya seperti gandum, kacang kedelai, dan jagung, yang digunakan sebagai pengganti beras baik untuk konsumsi manusia maupun pakan ternak. Hal ini dapat menyebabkan efek domino pada permintaan dan harga tidak hanya bahan makanan, tetapi juga bahan bakar.
Mengapa India Melarang Ekspor Beras?
Masih mengutip Al Jazeera, beras adalah makanan pokok bagi lebih dari separuh penduduk India. Negara ini memproduksi sekitar 135 juta ton beras setiap tahunnya, lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan domestik sekitar 100-105 juta ton. Ini termasuk beras yang didistribusikan dengan tarif bersubsidi kepada 800 juta penduduk miskin di negara itu.
“Tingkat stok penyangga kami sangat, sangat nyaman. Kami memiliki sekitar 41 juta ton beras di gudang [pemerintah]. Kami tidak kekurangan apapun. Tetapi harga domestik kami, dengan semua harga makanan lainnya, telah meningkat,” kata Samarendu Mohanty, Direktur Regional Asia di International Potato Center dan sebelumnya adalah ilmuwan utama di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina.
Dengan kenaikan harga global akibat perang Rusia di Ukraina, harga beras naik lebih dari 10 persen di India dalam satu tahun terakhir, kata beberapa pedagang kepada Al Jazeera. Larangan ekspor terbaru, kata mereka, diberlakukan untuk mendinginkan harga dalam negeri dan sebagai tindakan pencegahan jika El Nino mempengaruhi tanaman padi yang ada, dan siklus berikutnya.
Namun dengan harga domestik yang tetap tinggi, pemerintah India mengatakan pekan lalu akan melepas 2,5 juta ton beras di pasar terbuka dalam upaya mengendalikan harga. Dengan pemilihan lima negara bagian yang dijadwalkan menjelang pemilihan nasional pada bulan Mei tahun depan, secara politis penting bagi pemerintah yang berkuasa untuk menjaga harga tetap rendah. Akibatnya, larangan ekspor India kemungkinan akan tetap berlaku.
Larangan ekspor beras yang diberlakukan pemerintahan India juga membuat masyarakat melakukan panic buying atau pembelian panik. Muncul beberapa video orang panik membeli beras India di toko kelontong yang ramai di Amerika Serikat dan Kanada. Ada juga laporan dari beberapa toko di AS yang membatasi penjualan menjadi “satu karung beras per keluarga” untuk menghadapi permintaan yang meningkat. Banyak dari pelanggan ini adalah ekspatriat India yang terbiasa makan nasi.
Kenaikan harga dan kekurangan biji-bijian ini, kata para ahli, tidak akan secara langsung mengurangi anggaran makanan di pasar negara maju, di mana 80 persen konsumsinya adalah beras basmati. Tetapi dampaknya pada “pasar MENA” – di Timur Tengah, yang memiliki komunitas ekspatriat India yang besar, dan di Afrika Utara serta negara-negara Afrika Barat dan Asia tertentu, akan mengkhawatirkan.
Di Nepal, Bangladesh, dan beberapa negara Afrika, di mana beras merupakan lebih dari setengah anggaran pangan, dan di negara-negara seperti Filipina dan Indonesia, yang pertanian dan perikanannya dilanda El Nino dan kondisi perubahan iklim lainnya, kepanikan mulai terjadi.
“Di Indonesia, perikanan mungkin sudah dirugikan karena dampak El Nino cukup kuat,” kata Raghu Murtugudde, ilmuwan sistem kebumian serta profesor emeritus di Universitas Maryland dan Institut Teknologi India Bombay. “Ada gelombang panas laut yang merusak karang, berdampak pada perikanan dan pariwisata. Jika mereka kehilangan perikanan dan pariwisata, mereka akan kehilangan daya beli beras,” katanya.
Hal ini menyebabkan efek kaskade pada harga barang lain karena orang beralih dari ikan ke daging. “Kemudian daging terpukul, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan jagung yang digunakan sebagai pakan ternak. Kemudian berdampak pada produksi etanol serta harga bahan bakar naik, berdampak pada transportasi yang menyebabkan harga sayuran naik. Ini pernah terjadi di masa lalu,” tambah Murtugudde.
Harga beras di Vietnam dilaporkan tertinggi dalam 15 tahun terakhir, sementara di Nepal harga beras melonjak 16 persen sejak India mengumumkan larangan tersebut. Indeks Harga Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan kenaikan harga beras sebesar 2,8 persen pada bulan Juli dari bulan sebelumnya, dengan lonjakan tahun-ke-tahun sebesar 19,7 persen.
Tahun lalu, ketika India memberlakukan larangan beras pecah-pecah, India meninggalkan ketentuan penjualan pemerintah ke pemerintah (G2G). Di bawah skema itu, India mengekspor hampir 800.000 ton beras ke Senegal, Indonesia, dan Gambia atas dasar kemanusiaan.
Larangan terbaru ini juga memiliki ketentuan ekspor G2G untuk mengatasi masalah keamanan pangan. “Pemerintah India memberikan sinyal positif bahwa mereka mungkin mengizinkan beberapa ekspor beras putih keluar dari India berdasarkan kuota tertentu,” kata Gupta dari Olam.
Tetapi ahli lain mengatakan jumlah yang diekspor kecil, prosesnya lebih lama, dan seringkali hegemoni dan politik ikut bermain. “Ekspor G2G akan mengatasi masalah ketahanan pangan, tetapi bukan masalah harga. Harga akan tetap tinggi sampai kami membuka perdagangan,” kata Mohanty.
Beras dari Asia menyumbang 90 persen dari produksi global. Namun padi di Asia sangat rentan terhadap El Nino, pola iklim yang disebabkan oleh pemanasan air permukaan di Samudera Pasifik bagian timur yang menyebabkan peningkatan curah hujan dan kekeringan. “India terkena dampak El Nino 60 persen, tetapi Asia Tenggara, khususnya Indonesia, 100 persen terkena dampak yang parah,” kata Murtugudde.
Pakar iklim mengatakan selain El Nino yang bisa berlangsung selama 9 hingga 12 bulan, ada kondisi cuaca ekstrim akibat pemanasan global. “Seluruh negara sedang istirahat musim hujan sekarang. Yang cenderung dilakukan El Nino adalah memperpanjang jeda ini. Kita harus melihat apakah El Nino menciptakan jeda panjang pada Agustus ini, dalam hal ini akan menciptakan defisit curah hujan yang serius,” kata Murtugudde. Jika itu terjadi, itu akan merugikan panen berikutnya.
Yang jelas, larangan ekspor beras India ini menimbulkan risiko besar bagi dunia. Kebijakan ini pasti akan menyebabkan lonjakan harga beras putih global dan mempengaruhi ketahanan pangan banyak negara Afrika. Dengan larangan ekspor secara mendadak di tengah kondisi pangan yang sulit juga akan berpengaruh kepada reputasi India sebagai pemasok beras yang sangat tidak dapat diandalkan bagi dunia.