Ekonom senior Indef, Faisal Basri keukeuh mempertahankan asumsinya bahwa hilirisasi nikel model Presiden Jokowi lebih menguntungkan China, ketimbang Indonesia. Berikut penjelasannya.
“Tak ada yang meragukan bahwa smelter nikel menciptakan nilai tambah tinggi. Siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? Tentu saja pihak China yang menikmati. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen. Begini hitung-hitungannya,” papar Faisal, dikutip dari laman faisalbasri.com, Jakarta, Sabtu (12/8/2023).
Menurutnya, nilai tambah dari industri smelter itu berasal dari produk smelter dikurangi bijih nikel. Sedangkan nilai tambah yang dinikmati pengusaha berupa laba. Sedangkan, nilai tambah yang dinikmati pemodal berbentuk bunga, pekerja berbentuk upah, pemilik lahan berbentuk uang sewa.
“Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air,” kata Faisal.
Realitanya, kata Faisal, hampir seratus persen modal dari smelter nikal yang beroperasi di Indonesia, berasal dari perbankan China. Otomatis, pendapatan bunga hampir seluruhnya mengalir ke China.
Dan, Faisal juga menyoroti dari sisi tenaga kerja di semlter nikel yang investasinya didominasi China. Banyak pekerjaan yang bukan golongan ahli, misalnya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir, diisi tenaga kerja asing (TKA) asal China.
Celakanya lagi, kata Faisal, pekerja China itu menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan.
Masalah krusial lainnya adalah ketidakadilan perlakuan antara pekerja China dengan Indonesia (lokal). Banyak pekerja China di smelter China bergaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta sebulan. Sedangkan gaji pekerja Indonesia, jauh di bawahnya. Atau tak jauh-jauh dari aturan upah minimum (UM).
“Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tak bayar pajak penghasilan. Padahal gaji mereka puluhan kali gaji pekerja lokal,” paparnya.
Terkait pajak bumi dan bangunan (PBB) yang menjadi kewajiban perusahaan smelter, menurut Faisal, nilainya rendah sekali. Jadi, nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China.
“Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional,” ungkapnya.
Berdasarkan harga rerata bulan April 2021, penerimaan yang dinikmati perusahaan tambang bijih nikel jauh lebih rendah dari harga patokan yang ditetapkan pemerintah atau HMP (harga patokan mineral) yang sudah relatif sangat rendah itu.
Selain itu, kata Faisal, perusahaan smelter nikel yang didominasi investasi China itu, leluasa melakukan monopoli usaha. Karena, ada 330 tambang bijih nikel terdaftar (328 IUP dan 2 kontrak karya) tak punya pilihan selain menjual produk tambangnya ke smelter.
Menurut temuan Faisal, sebagian besar smelter China itu banyak melanggar peraturan pemerintah. Perusahaan smelter juga mewajibkan perdagangan bijih nikel melalui trader alias calo. Dan, perusahaan semlter berhak menujuk perusahaan surveyor.
Anehnya lagi, hampir semua perusahaan smelter hanya mau menggunakan Anindya WK dan Carsurin untuk pelaksanaan jasa verifikasi di titik bongkar, atau discharging. “Bapak Presiden, maaf kalau saya katakan bahwa Bapak berulang kali menyampaikan fakta yang menyesatkan,” kata Faisal.