Presiden Jokowi mengaku kerap mendapat pertanyaan terkait hasil yang didapatkan negara dari kebijakan larangan ekspor nikel Cs dan hilirisasi bahan tambang.
Padahal dari data yang ada, hasilnya sangat jelas.
"Ada yang sampaikan ke saya 'negara dapat apa? Itu kan untungnya yang dapat perusahaan'," kata Jokowi di acara Rakernas Gamki yang disiarkan di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Sabtu (19/8).
Merespons pertanyaan itu, Jokowi mengatakan kebijakan hilirisasi membuat keuntungan bagi pemerintah. Di antaranya lapangan pekerjaan di dalam negeri semakin terbuka. Sebelum ada kebijakan tersebut, lanjutnya, kesempatan kerja hanya ada di negara lain.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan negara mendapatkan pelbagai komponen pajak dari hilirisasi nikel hingga royalti.
"Setelah hilirisasi lapangan kerja terbuka di dalam negeri. Nikel itu sekali lagi dapat PPN, dapat PPh perusahaan, PPh karyawan, dapat royalti. Dapat penerimaan negara bukan pajak, dapat bea ekspor, dapat banyak sekali," kata dia.
Ia menegaskan kebijakan hilirisasi barang mentah harus dilakukan saat ini. Baginya, upaya hilirisasi sebagai sebuah kemajuan lantaran sudah 400 tahun sejak zaman VOC Indonesia selalu mengekspor barang mentah ke luar negeri. Alhasil, pendapatan yang diterima negara pun sedikit.
"Saya contohkan nikel. Waktu ekspor bahan mentah sebelum 2020, kita setahun dapat kira-kira US$2,1 miliar. Begitu di hilirisasi menjadi US$33,8 miliar. Lompatannya berapa kali," kata dia.
Manfaat soal hilirisasi nikel Cs yang dilakukan Jokowi dikritik oleh ekonom Faisal Basri. Ia mengatakan 90 persen keuntungan hiliriasi nikel yang dilakukan Jokowi justru dinikmati China.
Mengutip data dari keterangan resmi pemerintah dan pelaku bisnis terkait, Faisal menerangkan nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun pada 2014. Angka itu berasal dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, Rp11.865 per dolar AS.
Sementara pada 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi tercatat Rp413,9 triliun. Angka itu berasal dari nilai ekspor US$27,8 miliar dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun lalu sebesar Rp14.876 per dolar AS.
"Terlepas dari perbedaan data antara yang disampaikan Presiden dan hitung-hitungan saya, memang benar adanya bahwa lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat sungguh sangat fantastis," ujarnya.
Namun, Faisal menilai uang hasil ekspor itu tidak seutuhnya mengalir ke Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan smelter pengolah bijih nikel dimiliki oleh China dan Indonesia menganut rezim devisa bebas. Dengan begitu, perusahaan China berhak untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri.
Ditambah lagi, ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.
"Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," terangnya.
Faisal menyebut perusahaan smelter nikel bebas pajak karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Insentif pajak itu diberikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan BKPM.
Tak hanya itu, sambung Faisal, perusahaan nikel China di Indonesia juga tidak membayar royalti. Pasalnya, yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor.