Apa Yang Kita Ingat dari HUT RI?
SEPATU BASWEDAN DAN PENGAKUAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Oleh: Among Kurnia Ebo
Sangat menarik membaca biografi AR Baswedan ini. Ya, ini sejarah hidup kakeknya Capres Perubahan Anies Baswedan. Siapa dia? Apa hal yang harus paling dilekatkan pada predikat hidupnya supaya bangsa ini tidak pernah menolak lupa?
Bahwa AR Baswedan telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional itu hampir semua orang sudah tahu. Tapi apa yang membuatnya menjadi pahlawan bagi bangsa ini? Apa yang membuatnya harus dikenang dengan jasa besar yang tidak dilakukan orang lain pada masanya? Perihal ini lebih banyak orang tidak tahu.
Abdur Rahman Baswedan adalah pribadi yang unik. Cerdas, bengal, tapi lurus. Mungkin itu yang kemudian menetes pada cucunya: Anies Rasyid Baswedan.
Kembali pada pertanyaan: apa jasanya AR Baswedan pada bangsa dan negeri ini?
Indonesia memang telah diproklamasikan oleh Soekarno Hatta pada 17 Agustus 1945. Tetapi, ini baru klaim sepihak. Tak ada negera lain yang mengakuinya secara declare. Bahkan Belanda sekali pun. Makanya Belanda masih masuk kembali ke Indonesia dengan menunggang pada NICA karena memang tak pernah menganggap Indonesia telah merdeka.
Bagaimana agar Indonesia yang merdeka ini bisa mendapatkan pengakuan dari negara lain? Karena jika ada nota pengakuan dari negara lain barulah Indonesia bisa mendaftarkan diri ke PBB dan barulah Indonesia bisa diakui sebagai negara baru yang merdeka berdaulat.
Nah, di sinilah peranan AR Baswedan itu bernilai sangat besar bagi Republik ini. Mengetahui bahwa pengakuan dari negara lain adalah syarat bagi sebuah negara merdeka untuk diakui secara Internasional maka berangkatlah AR Baswedan ke Mesir, Kairo, pusat dari Liga Bangsa-bangsa Timur Tengah. Bersama guru politiknya, Agus Salim dan ditemani HM Rasyidi dan Natsir Pamuncak. Hanya untuk satu tujuan: meminta pengakuan diplomatik, nota dukungan resmi, bahwa Indonesia adalah negara yang merdeka berdaulat.
Pengakuan yang sangat penting dan krusial bagi sebuah negara baru. AR Baswedan sangat ngotot untuk mendapatkan itu. Meski tahu tak cukup bekal uang jika harus berangkat ke Timur Tengah untuk waktu yang lama. Ya, harus nekat, berangkat saja dulu! Kalau untuk urusan Indonesia, AR Baswedan siap mempertaruhkan apapun meski itu keselamatan nyawanya sendiri. Rekam jejaknya sudah teruji dan terbukti.
TOLERANSI SUDAH SELESAI
AR Baswedan adalah anak muda yang bengal dan pemberani. Bagaimana tidak? Untuk situasi pada jamannya apa yang dia pikirkan dan lakukan atas pilihan-pilihan hidupnya sungguh melawan dari kelaziman komunitas Arab yang tinggal di Indonesia. Yang bisa saja mencari pilihan hidup yang aman tanpa mengambil resiko apa-apa apalagi mempertaruhkan nyawa.
AR Baswedan adalah anak muda Arab yang dengan berani dan yakin harus mendirikan Partai Arab Indonesia 5 Oktober tahun 1934. Itu setelah melihat komunitas Tionghoa di Surabaya mendirikan Partai Tionghoa Indonesia di bawah pimpinan Liem Koen Hian pada tahun 1930. Boleh disebut Baswedan berguru pada orang Tionghoa dan Lim Koen Hian adalah mentor politik pertamanya yang membuatnya berani mendirikan partai sendiri.
Jadi, kalau urusan toleransi jangan mempertanyakannya pada sosok Anies Baswedan karena dia pasti sudah belajar banyak value itu dari kakeknya sendiri. Yang sudah melakukan, mengalami, dan mempraktikkannya.
Maka setelah belajar langsung pada Koen, Baswedan pun mendirikan PAI dan mendeklarasikan sebagai warga Indonesia dan wajib memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat deklarasi ini Baswedan memakai surjan dan baju Jawa yang tidak lazim bagi orang keturunan Arab. Yang itu menimbulkan kehebohan di mana-mana di komunitas Arab sepanjang Pulau Jawa. Apalagi dalam deklarasi itu ia mengucapkan kata-kata: kami lahir di Indonesia, Indonesia tanah air kami, dan Indonesia adalah tumpah darah kami. Banyak yang menganggap Baswedan sudah gila!!!
Kebengalan AR Baswedan lainnya yang harus dicatat adalah dia memilih bekerja sebagai wartawan di koran Tionghoa. Koran Sin Tit Po namanya. Ini koran kritis yang banyak mengritik Belanda. Tentu saja tak ada komunitaa Arab yang bisa menjangkau dan memahami pikirannya pada masa itu. Mengapa Baswedan memilih bekerja di koran orang Tionghoa yang penuh risiko. Dan AR Baswedan menjadi satu-satunya orang keturunan Arab yang bekerja di situ. Padahal Arab adalah komunitas yang ditetapkan sebagai warga negara kelas dua yang relatif aman hidupnya.
Partai Arab Indonesia yang didirikan Baswedan saat dia masih menjadi jurnalis itu akhirnya justru menjadi tiket baginya untuk menjadi anggota BPUPKI. Mewakili komunitas Arab tentu saja. Untuk bersama-sama golongan lainnya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di dalam sidang itu Baswedan mengulang kembali soal kewarganegaraan keturunan Arab: bagi kami warga keturunan Arab maka kerakyatan kami, tidak lain tidak bukan, adalah kerakyatan Indonesia.
Itulah sebabnya Baswedan langsung membubarkan Partai Arab Indonesia ketika Indonesia sudah merdeka secara de facto. Dan terus berjuang dengan segenap jiwa raganya untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dari dunia internasional.
Pada masa belianya, saat masih umur 12 tahun, AR Baswedan adalah satu-satunya remaja Arab yang nekat mau masuk ke sekolah Belanda. Sesuatu yang tidak lazim pada masanya. Apa tujuannya? Dia ingin belajar sekaligus membaca banyak buku. Kelak ada satu kata-katanya yang sangat dikenang oleh banyak intelektual. Ucapan itu adalah: guruku adalah buku-buku dan kamus-kamus!
Tentu itu adalah kalimat yang melampaui jamannya. Apalagi diucapkan oleh anak kecil. Bengal, nyentrik, unik, lebih pas disematkan kepadanya. Tapi begitulah fakta sejarah telah mencatatnya.
SEPATU KEMERDEKAAN
Kisah sepatu Baswedan adalah sejarah yang tak tergantikan bagi pengakuan kedaulatan Indonesia di dunia internasional. Berkat kecerdasan dan mungkin kebengalannya itulah nota resmi diplomatik pengakuan negara Mesir atas kemerdekaan Indonesia bisa selamat sampai Indonesia dan utuh saat diserahkan kepada Bung Karno di Gedung Agung Yogyakarta yang disaksikan PM Amir Sjarifudin.
Tiga bulan lebih AR Baswedan berada di Kairo dan berjibaku ke sana ke mari untuk menyakinkan banyak tokoh bahwa Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945 dan membutuhkan pengakuan resmi dari negara-negara sahabatnya di Timur Tengah. Pada akhirnya Kairo bersedia memberikan pengakuan itu dan membuat nota diplomatiknya. AR Baswedan, Agus Salim, dkk lega. Tinggal satu persoalan yang harus ditunaikan: bagaimana membawa surat itu selamat sampai Indonesia!
Maka bersepakatlah AR Baswedan yang ditunjuk untuk terbang membawa surat atau nota pengakuan dari Mesir itu ke Indonesia. Tidak gampang dan sangat penuh resiko. Mata-mata ada di mana-mana. Perjalanan itu sama artinya bertaruh dengan nyawa. Sedikit saja ada kecerobohan atau kesalahan bisa nyawa melayang dan nota diplomatik hilang.
AR Baswedan lolos dari pemeriksaan imigrasi di Mumbai India. Lanjut terbang ke Singapura. Celakanya, persediaan uang habis saat tiba di negeri tumasik itu. Apa yang dilakukannya? Dia mencari donatur dari keturunan Arab yang tinggal di situ. Dapat dan cukup untuk membeli tiket ke Batavia Jakarta.
Sebelum terbang entah mendapat ilham dari mana tiba-tiba saja AR Baswedan mengambil nota diplomatik dari kopernya. Dilipat sedemikian rupa lalu dimasukkan ke dalam kaos kakinya. Di bagian kaki. Dia hanya berpikir pemeriksaan di bandara Kemayoran pasti sangat ketat dan dia tidak ingin surat penting itu akan dirampas petugas bandara. Perjalanan ini sudah sangat panjang, melelahkan, dan menegangkan. Tidak ada pilihan, dia harus selamat dan surat juga aman.
Feelingnya ternyata tepat. Begitu mendarat di Kemayoran, satu persatu penumpang digeledah sangat ketat. Termasuk koper AR Baswedan. Tidak ada yang mencurigakan. Sementara jantung Baswedan berdegup kencang. Kuatir kalau petugas menyuruh mencopot sepatunya dan menggeledah kaus kakinya. Kalau itu terjadi selesai sudah misi penting itu. Sia-sia. Surat pasti dirampas dan dia akan masuk ke penjara atau malah dihukum tembak karena dianggap melakukan tindakan subversif.
Begitu lolos dari pemeriksaan, AR Baswedan langsung bergegas menuju stasiun kereta. Dan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Rasa capai tak dihiraukan. Di kepalanya hanya ada pikiran surat harus sampai secepatnya. Dia kuatir akan terjadi apa-apa dengan surat penting itu jika dia bertahan lama di Batavia Jakarta. Tiba di Yogya dia langsung ke Gedung Agung bertemu dengan Amir Sjarifudin yang kemudian mempertemukannya dengan Bung Karno.
Bung Karno tentu saja terkejut. Bagaimana mungkin Baswedan bisa selamat dan nota diplomatik bisa utuh di tangannya?
"Alhamdulillah, kita untung, Bung!" jawabnya singkat. Beberapa hari kemudian AR Baswedan baru bercerita tentang petualangannya yang menegangkan untuk menjaga dan menyelamatkan surat itu sepanjang perjalanan dari Kairo, India, Singapura, dan Kemayoran. Tentang kehabisan uang. Tentang sepatu dan kaus kakinya sebagai tempat menyembunyikan dokumen yang tak menimbulkan kecurigaan. Dan tak lupa ia menunjukkan seuntai tasbih pemberian seorang Syeikh di Kairo yang selalu digenggamnya selama di perjalanan sambil terus berzikir.
Berkat surat atau nota diplomatik dari Kairo itulah kemudian Indonesia bisa mendaftarkan dirinya sebagai negara merdeka yang juga diakui oleh negara lain. Meski Belanda tetap menganggap Indonesia baru merdeka 27 Desember tahun 1949 setelah perjanjian Linggarjati di Cirebon. Tak mengapa? Yang penting PBB tahu bahwa negara Mesir sudah memberikan pengakuan Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
Setelah Mesir memberi pengakuan atas kemerdekaan Indonesia barulah negara-negara Timur Tengah dan Asia lainnya menyusul memberikan nota diplomatiknya. Berturut-turut kemudian Syiria, Irak, Palestina dan Arab Saudi memberikan nota pengakuan kemerdekaan Indonesia yang diterima oleh rombongan yang tertinggal: HM Rasjidi dan Agus Salim.
Jadi, dibalik perjuangan memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang sangat heroik itu nama AR Baswedan tak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah bangsa. Tanpa AR Baswedan, sepatu, dan kaos kakinya, mungkin Indonesia belum ada di tanggal 17 Agustus 1945. Belum mendapatkan pengakuan secara internasional. Belum bisa dicatat di PBB. Gara-gara AR Baswedan Indonesia menjadi ada yang sesungguhnya. Senyatanya. De facto and de jure.
Jadi, sangat pantas kiranya kalau bangsa ini memberinya gelar sebagai Pahlawan Nasional. Meski tak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan sesuai wasiat pada keluarga. Seperti Sayuti Melik yang menjadi Pahlawan Nasional gara-gara mesin ketiknya. Begitu pula AR Baswedan punya peran sangat penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Kalau Sayuti Melik berjuang dengan mesin ketiknya, Abdur Rahman Baswedan berjuang dengan sepatunya. Mesin ketik dan Sayuti Melik adalah saksi sejarah terdokumentasikannya teks proklamasi. Sepatu AR Baswedan adalah saksi pertaruhan nyawanya yang sangat menentukan masa depan kemerdekaan Indonesia di mata internasional.
Ya, sepatu AR Baswedan telah menjadi kurir pertama kemerdekaan Indonesia hingga dunia tahu telah berdiri sebuah negara baru. Pada 17 Agustus 1945. INDONESIA.
Yang juga mengharukan, sampai akhir hayatnya AR Baswedan tidak pernah punya rumah. Hidupnya berpindah satu rumah pinjaman ke rumah kontrakan berikutnya. Kemewahan memang bukan misi hidupnya. Jiwa, raga, dan pikirannya hanya untuk berjuang dan berkorban untuk Indonesia, tanah airnya. Tanpa mengharap imbalan apa-apa. Serupa dengan Bung Hatta.
Sifat-sifat bengal, berani, dan cerdik itu sekarang menitis pada sosok Anies Rasyid Baswedan. Semoga dia akan menjadi pahlawan bagi negeri ini sebagaimana kakeknya yang telah menjadi salah satu pahlawan nasional. Aminnnn. ***