Oleh: Sutoyo Abadi - Koordinator Kajian Politik Merah Putih / fnn
PANGGUNG politik nasional sedang mengalami turbulensi, ada juga yang menyebut fenomena itu sebagai era gangguan (disruption). Kalangan intelektual lain menyebutnya sebagai volatile-vulnerable, uncertain, complex, ambigue, atau dikenal dengan VUCA .
Menggambarkan keadaan yang tidak dapat diprediksi, menantang, dan tidak menguntungkan atau menggambarkan situasi politik - keamanan yang berubah cepat
Dinamika perpolitikan nasional, sedang menapaki situasinya gonjang-ganjing, akibat keteguhan sikap politik presiden yang terus mengalami guncangan.
Hal ini ditandai dengan kondisi amanah kekuasaan tergadai, penegakan hukum terbeli, dan kondisi sosial-politik yang mengindikasikan kepemimpinan nasional hanya mengikuti remote kekuatan neolib yang telah menjelma menjadi bandit dan bandar politik
Situasi percaturan politik nasional juga tidak akan bisa lepas terseret pengaruh politik global yang terus mengalami perubahan menjadi unipolar dari multipolar.
Seperti Presiden Vladimir Putin menunjukkan bahwa masa depan bersama untuk semua akan membutuhkan dialog antara Barat dan "pusat-pusat baru tatanan internasional multipolar ".
Mereka menebar dan memasarkan situasi kecemasan (shock doctrine) yang melahirkan ketakutan, lalu menjual perlindungan. Tujuan mereka jelas, mempertahankan situasi dan kondisi unipolar.
Indonesia ikut terbawah arus politik global, telah mengubah UUD 1945 naskah aslinya menjadi UUD 2002 yang menganut prinsip demokrasi liberal dan sistem check and balance (yang semu) sesuai dengan arahan Menlu AS Madeleine Albright dan UNDP.
Sementara Indonesia, sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden RI ke-4 hingga saat ini, tetap asyik bercengkerama dengan penerapan sistem ekonomi neoliberal, terus berlanjut sampai saat ini
Muncul macam macam regulasi yang bertentangan dengan semangat, nilai-nilai, dan cita-cita perjuangan sebagaimana ditegaskan dalam Kata Pembukaan UUD 1945, dan pasal-pasal 23, 27 (2), 31, 32, 33 (1,2,3), 34 dan pasal 29 UUD 1945 naskah asli.
Berganti rezim terus tenggelam dalam pengaruh dan tekanan neoliberal. Pijakannya adalah amandemen UUD 1945 sehingga mengukuhkan sistem demokrasi korporasi.
Prof Ihsanudin salah satu tokoh berkali kali mengirim artikel pencerahan bahaya neolib yang tetap eksis dalam praktek ketata negara ini.
Pada kecamuk panggung internasional, Indonesia tidak banyak mengambil sikap. Karakter follower (janitor, operator, dan manager) dari kalangan neoliberal yang berkuasa terus berlanjut.
Ironinya masyarakat kita khususnya masyarakat Islam di Indonesia seakan abai dengan fakta ini. Kokohnya sistem dan model ekonomi politik barat dan cina seakan tidak mengganggu kehidupan
Jika pada 2024 kita kembali mencari pemimpin dengan rujukan sistem itu, maka hasilnya adalah ultra neoliberal-lah yang menjadi penguasa, siapapun presidennya.
Kesalahan sistem ekonomi politik kita sudah pada kondisi sistemik struktural. Seolah olah kita masih merdeka, di alam penjajahan gaya baru. Ketika rujukan kata dalam Pembukaan serta Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, sudah menghilang.
Pemimpin ke depan, apakah Anies, Prabowo dan Ganjar, sepatutnya dan sepantasnya adalah pejuang dan negarawan yang memberi keteladanan baik dan benar, serta bukan keteladanan yang buruk.
Sebab kegagalan kepemimpinan juga merupakan kegagalan sistem kehidupan. sistemnya gagal, dan pemimpinnya juga memberi keteladanan yang buruk ( secara spiritual, moral dan intelektual), hasilnya adalah prahara bangsa).
Semua abai, presiden justru bingung dan linglung dalam mengelola dan mengendalikan negara ini, sehingga negara terus terperosok lebih dalam negara hirup dikendalikan kaun neolib dan kapitalis. [*]