Masyarakat Suku Awyu Papua harus gigit jari. Sekitar 8.828 hektare hutan adat mereka diserobot dua perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama.
Dua perusahaan itu sebenarnya telah dicabut izin konsesinya oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar lewat Surat Keputusan NOMOR: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022. Namun, mereka diduga masih beroperasi hingga saat ini.
Masyarakat Awyu khawatir konsesi dua perusahaan itu merusak hutan adat. Bagi mereka hutan adalah sumber kehidupan.
"Kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya," kata Hendrikus Franky Woro, salah satu warga adat Awyu saat ditemui di Komnas HAM, Jakarta Pusat, Selasa (8/5).
"Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah rekening abadi bagi kami masyarakat adat," imbuhnya.
Dua perusahaan itu tak terima dengan keputusan Menteri LHK atas pencabutan izin konsesi.
Kedua perusahaan itu mengajukan gugatan atas keputusan Menteri LHK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Merujuk situs informasi penelusuran perkara (SIPP) PTUN Jakarta, PT Megakarya Jaya Raya mendaftarkan gugatan mereka pada 10 Maret 2023.
Gugatan teregistrasi dengan nomor perkara 82/G/2023/PTUN.JKT itu mempersoalkan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1150/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel.
Adapun PT Kartika Cipta Pratama mendaftarkan gugatan pada 15 Maret 2023 dan teregistrasi dengan nomor perkara 87/G/2023/PTUN.JKT.
Objek gugatan dalam perkara ini yakni Keputusan Menteri LHK Nomor SK.1157/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2022 tentang Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan Atas Nama PT Kartika Cipta Pratama di Kabupaten Boven Digoel.
Mengetahui gugatan itu, Franky dan sejumlah masyarakat adat Awyu pun terbang ke Jakarta untuk mengajukan permohonan intervensi sebagai tergugat II ke PTUN Jakarta di dua gugatan kedua perusahaan tersebut.
Franky menjelaskan permohonan intervensi itu dilakukan karena masyarakat adat akan terdampak langsung atas putusan dari gugatan terebut.
"Tujuan kami ikut serta dalam persidangan ini untuk menegaskan bahwa Papua bukanlah tanah kosong. Meski belum mendapatkan pengakuan dari negara, kami jauh-jauh datang ke Jakarta dan mendukung negara untuk melindungi hutan kami dari perusahaan yang ingin merusaknya," jelas dia.
"Gugatan kedua perusahaan itu akan berdampak kepada kehidupan suku Awyu, kami harus terlibat untuk mempertahankan hak-hak kami," lanjutnya.
Selain itu, gugatan itu juga diajukan agar masyarakat mendapatkan informasi yang transparan terkait permasalahan yang menyangkut hutan adat mereka.
Mengadu ke Komnas HAM
Kuasa Hukum Masyarakat Adat Awyu Tigor Gemdita Hutapea mengatakan pihaknya tidak mengetahui isi dari SK yang digugat oleh kedua perusahaan tersebut. Tigor mengaku tak bisa mengakses kedua SK yang dipermasalahkan.
Pihaknya mengaku telah meminta kedua SK yang dipermasalahkan oleh dua perusahaan itu ke KLHK, tapi tak mendapat hasil apa pun.
"Dengan gugatan ini kami berharap tahu selain melindungi hak masyarakat adat. Kita harap sih KLHK bisa membuka pasca SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022," ujar Tigor.
"Memang banyak informasi sektor pertambangan, tapi sektor sawit dan hutan itu minim informasi," imbuhnya.
Franky dan sejumlah masyarakat adat Awyu tak hanya ke PTUN, mereka juga mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada hari yang sama.
Mereka mengadukan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut. Franky menyebut hutan adat bagian dari hak kehidupan.
"Pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua terutama hak hak kami yang dilanggar dan dirampas oleh perkebunan sawit di wilayah kami," ujar Franky.
"Pelanggaran HAM ini banyak terjadi di wilayah kami, kami datang kesini minta komnas ham agar lebih serius memperhatikan hal-hal ini," lanjutnya.
Franky menyebut tidak hanya kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan, melainkan juga hubungan sosial masyarakat adat.
Franky mengatakan konflik antar masyarakat mulai bermunculan sejak dua perusahaan itu menduduki tanah mereka.
"Kami di sana itu hampir mau timbul konflik, itu ada dua kubu, baik itu pro maupun kontra. Kami sekarang memohon pemerintah agar tidak terjadi konflik itu," ucapnya.
Masyarakat adat Awyu yang datang ke Komnas HAM pun mendesak agar lembaga itu membentuk tim dan melakukan pemantauan langsung ke Papua.
Komnas HAM akan ajukan amicus curiae
Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian mengaku pihaknya berencana akan menindaklanjuti aduan dari masyarakat adat Awyu. Namun, pihaknya ingin melakukan kajian terlebih dahulu.
"Ya kami seperti biasa akan terlibat sesuai dengan tugas wewenang kami. Kami dapat membuat satu posisi kami di masyarakat," kata Saurlin saat ditemui.
"Mungkin kami belum bisa memberikan langkah cepat. Papua ini memiliki kompleksitas tersendiri. Sehingga perlu penelitian lanjutan. Tapi saya sendiri ingin membuat Papua sebagai prioritas," imbuhnya.
Selain itu, Saurlin mengatakan Komnas HAM dalam waktu dekat juga akan mengirimkan amicus curiae untuk masyarakat adat dalam gugatan mereka.
"Bersedia membuat amicus curiae, posisi komnas ham akan disampaikan dalam amicus curiae tersebut," ucapnya.
Greenpeace Indonesia menemukan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, yang lahannya terletak berdampingan di Provinsi Papua Selatan, terhubung ke Grup Hayel Saeed Anam.
Greenpeace menyebut Grup Hayel Saeed Anam mempunyai banyak kepentingan terkait sawit.
Pacific Inter-Link salah satu yang mengendalikan kepentingan penyulingan dan perdagangan minyak kelapa sawit itu.