Pada Kamis 12 Maret 1998, Soeharto melakukan kegiatan yang sebetulnya bukan sesuatu yang baru.
Hari itu dia bakal datang lagi ke gedung MPR untuk mengucapkan sumpah jabatan presiden periode ke-7 masa bakti 1998-2003.
Karena sesering itu, Soeharto dan penontonnya barangkali hapal urutan agendanya.
Diawali pembacaan keputusan oleh ketua DPR/DPR Harmoko. Lalu dilanjut sumpah Presiden Soeharto dan Wakil Presiden B.J Habibie.
Setelahnya penandatangan dokumen dan salam-salaman, sebelum akhirnya Harmoko menutup rangkaian persidangan.
Namun, di hari itu ada akhirnya pembedanya juga. Bukan soal wakil presidennya yang berganti, tetapi momen saat penutupan sidang.
Ketika ingin mengayunkan palu dan mengetuknya di meja sebagai tanda ditutupnya sidang, Harmoko kaget bukan kepalang. Saat diketuk, tiba-tiba palunya yang keras itu patah menjadi dua.
Kepala palu terlempar ke lantai, sementara gagangnya masih dipegang Harmoko. Suasana langsung hening seketika.
Harmoko langsung tidak enak hati dan segera meminta maaf saat mengantar Soeharto ke lift sebelum pulang.
"Barangkali palunya kendor," kata Soeharto seraya menenangkan Harmoko, dikutip Firdaus Syam dalam Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko (2008).
Harmoko persis seperti mayoritas orang Indonesia lainnya. Ketika sesuatu tidak bisa dijelaskan secara logis, maka beralih ke penjelasan mistis.
Sejak peristiwa itu dari hati kecil Harmoko berkata ada firasat yang tidak enak.
Baginya, itu bukan sesuatu yang kebetulan. Alias ada semacam 'panggilan' yang sulit dijelaskan. Sejak itu, dia selalu bertanya-tanya ada peristiwa apa selanjutnya.
Arwan Tuti Artha dalam Dunia Spiritual Soeharto (2007) menyebut patahnya palu Harmoko membuat banyak orang mengaitkannya dengan isyarat bahwa kursi kekuasaan Soeharto selama tiga dekade juga bakal 'patah' dalam waktu dekat.
"Itu bukan kejadian lucu, tetapi sebenarnya isyarat alam yang tak bisa ditangkap oleh sebagian masyarakat di tengah kegembiraan. Isyarat alam itu menunjukkan legitimasi kebohongan bahwa sesungguhnya masyarakat tidak menghendaki Soeharto menjadi presiden," tulis Arwan Tuti.
Soeharto yang 'kental' dengan spiritual Jawa dan kerap memakai kode-kode khusus khas 'Raja Jawa' selama berkuasa barangkali perlahan menyadari arti sesungguhnya dari palu Harmoko yang kendor.
Sebab, mengutip Hari-Hari Terakhir Orde Baru (2009), setelah Sidang Umum MPR 1998 itu adalah hari-hari kritis.
Bantuan IMF terbukti gagal. Harga bahan pokok tidak terkendali. Rakyat semakin ngamuk. Seluruhnya menyudutkan posisi Soeharto sebagai penguasa.
Bagi Soeharto pribadi, puncaknya adalah saat ditinggal satu per satu oleh loyalisnya, termasuk juga Harmoko.
Sebagai orang yang pernah menjadi menteri penerangan, ketua umum Golkar, sekaligus ketua MPR yang mengangkat Soeharto, Harmoko barangkali loyalis paling setia presiden.
Namun, pada 18 Mei 1998, Harmoko blunder dan membuat pernyataan mengejutkan yang menandai 'patahnya' hubungan dengan atasannya itu.
"[...] Pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Ketua DPR/MPR Harmoko, dikutip Kompas (19 Mei 1998).
Sebagian besar literatur menyebut pernyataan Harmoko itu konon membuat Soeharto sakit hati.
Dia tidak menyangka anak buahnya akan melakukan blunder dahsyat. Parahnya, pernyataan tersebut menjadi awal dari pernyataan-pernyataan serupa yang diikuti para loyalisnya yang lain.
Hingga akhirnya, 70 hari setelah Kamis yang penuh 'isyarat alam' itu , dan tepat di hari Kamis 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia ke-2.
Pada akhirnya, dugaan publik benar, patahnya palu Harmoko benar-benar berujung pada 'patahnya' kekuasaan Soeharto.