Anggaran infrastruktur Presiden Jokowi selama delapan tahun pertama pemerintahannya naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada sembilan tahun pemerintahan SBY di mana SBY menjabat secara penuh.
Kendati melonjak di era Jokowi, porsi anggaran infrastruktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebenarnya tidak bergerak terlalu jauh. Jumlahnya juga jauh lebih kecil dibandingkan idealnya.
Angkanya sebesar 2,05% dari PDB pada era Presiden Jokowi. Jumlah tersebut lebih rendah dari angka idealnya yakni 4-4,5% dari PDB.
Tim Riset CNBC Indonesia mencatat bahwa sejak menjabat penuh pada 2015 hingga 2022 atau delapan tahun pemerintahan Jokowi, anggaran infrastruktur sudah menembus Rp 2.768,9 triliun.
Anggaran infrastruktur menggelembung dari Rp 256,1 triliun pada 2015 menjadi Rp 363,8 triliun pada 2022.
Anggaran infrastruktur bahkan pernah menyentuh Rp 400an triliun pada 2018-2019 walaupun realisasinya di angka Rp 394 triliun.
BACA JUGA:MIRIS! Nasib Warga Yang Lahannya Masuk Wilayah IKN Nusantara: Ditodong, Terima Uang Ganti Rugi Dengan Terpaksa
Anggaran infrastruktur pada pemerintahan Jokowi jauh lebih besar dibandingkan pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada periode 2005-2013 di mana Presiden SBY menjabat secara penuh, anggaran infrastruktur yang digelontorkan mencapai Rp 824,80 triliun.
Jokowi bahkan mengakui bahwa pemerintahannya telah menggelontorkan Rp 3.309 triliun hanya untuk membangun infrastruktur.
“Infrastruktur kita habiskan anggaran Rp 3.309 triliun,” kata Jokowi dalam pidatonya di agenda Rakernas PAN, dikutip Jumat (19/5/2023).
Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi sepanjang pemerintahan Jokowi gagal tumbuh di kisaran rata-rata 6%-7%.
Bahkan, Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bergerak lebih lambat dibandingkan pada periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan biaya pembangunan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih mahal ketimbang tol yang dibangun di era pemerintahan sebelumnya. Alhasil, dia menilai banyak proyek yang mubazir.
“Pak Harto Orde Baru sampai Pak SBY untuk membangun jembatan, saya kasih contoh, itu hanya dibutuhkan tambahan modal 4-4,5 unit modal, Jokowi periode pertama 6,5 naiknya gila, Jokowi periode kedua tapi datanya baru 2021-2022 itu naik jadi 7,3. Kalau zaman Pak Harto bocorannya 30%, Pak Jokowi sendiri yang menyadari kalau zaman saya kebocorannya 40%,” tambahnya dalam dialog CORE Indonesia, dikutip Rabu (17/5/2023).
“Kalau media mau kutip ini sumbernya Luhut Binsar Pandjaitan…’oh, kalau Pak Jokowi kemarin bilang ke saya 40%’. Jadi Jokowi sadar. Ngeri karena mengalir kemana-mana,” tambahnya.
Patut dicatat, proyek infrastruktur Jokowi memang dinilai kurang efisien seperti tercermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Semakin besar nilai koefisien ICOR, semakin tidak efisien perekonomian pada periode waktu tertentu.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan ICOR di era Jokowi meningkat dari sekitar 5% pada 2014 menjadi 8,16% pada 2022.
Ini artinya untuk memproduksi satu unit output dibutuhkan 8,16% modal output. Sayangnya dengan infrastruktur bejibun tersebut tidak dibarengi hasil yang positif. Buktinya, Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023 anjlok.
Dari 139 negara, Indonesia menempati peringkat ke-63, turun 17 peringkat dari peringkat ke-46 pada 2018.
Kinerja LPI ini dihitung berdasarkan enam dimensi, yakni customs, infrastructure, international shipments, logistics competence and quality, timelines, dan tracking & tracing.
Dari 6 indikator LPI tersebut, Indonesia mengalami kenaikan pada sisi customs dari 2,67 pada 2018 menjadi 2,8. Sementara itu, indikator infrastructure juga tercatat hanya naik tipis menjadi 2,9 dari sebelumnya 2,89.
Namun, empat indikator lainnya terpantau mengalami penurunan, dengan yang terbesar pada dimensi Timelines dari 3,67 menjadi 3,3.
Selanjutnya, tracking & tracing tercatat turun dari 3,3 menjadi 3,0, kemudian International Shipments melemah dari 3,23 menjadi 3,0, serta dan logistics competence & quality melemah dari 3,10 menjadi 2,9.
Adapun, indikator timelines atau ketepatan waktu ini merupakan indikator penting. Karena ini menjadi patokan dari kesuksesan pembangunan dan kualitas kompetensi logistik.
Patut dicatat, semakin mahal ongkos logistik suatu negara, berarti semakin besar beban ekonomi yang harus ditanggung rakyatnya.
Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara, yang masuk dalam laporan ini, peringkat pertama ditempati oleh Singapura dengan skor LPI mencapai 4,3, disusul oleh Malaysia yang berada di peringkat 31 secara global, dengan skor LPI 3,6.
Indonesia bahkan masih tertinggal dari Thailand yang berada di urutan ke-37 secara global, dengan skor LPI 3,5.
Sementara itu, Filipina dan Vietnam masing-masing berada di urutan ke-47 dan 50 dengan nilai LPI sama yaitu 3,3.
Kinerja ini semakin menunjukkan bahwa biaya logistik di Tanah Air masih dinilai terlampau tinggi. Pasalnya, kisaran biaya logistik Indonesia mencapai 22% dari PDB.
“Logistic cost kita itu 22% dari PDB, jadi istilahnya itu habis di ongkos karena apa 80% barang di Indonesia diangkut lewat darat. Padahal di seluruh dunia 70% barang itu diangkut lewat laut karena ongkos darat 10 kali lebih mahal dari laut,” kata Faisal.